Kamis, 22 Maret 2012

INGIN TAMPIL LEBIH CANTIK DAN BERSIH? INI DIA JAWABANNYA...

Kebersihan bagian dari iman.
Kecantikan, besar mendukung rasa percaya diri. Terutama bagi kaum wanita.
Menjaga kebersihan raut wajah sehingga orang merasa nyaman apalagi ditambah senyuman tulus,
merupakan amal sadaqah. 

"MUTIARA KERATON" jawabannya. Sabun HERBAL yang bisa memberikan kebersihan kulit wajah, sekaligus menjaga kecantikan anda. Jangan sia-siakan hari anda dengan wajah kusam kehilangan aura. Gunakan saja Sabun khusus cuci muka "MUTIARA KERATON" yang dibuat dari perpaduan susu murni, madu asli dan olive oil (Minyak Zaitun) serta Sari tumbuhan.

MUTIARA KERATON, Sabun dari bahan alami yang berfungsi menghaluskan kulit wajah dan membesihkannya. Bisa digunakan oleh semua jenis kulit. Membersihkan jerawat, menutup lubang pori-pori kecil atau besar menjadi halus kulit yang berminyak serta komedo. Sekaligus melenyapkan bau bada, biang keringat, dan ketombe.

KHASIAT MUTIARA KERATON
Bukan saja membersihkan dan mempercantik wajah anda. MUTIARA KERATON bisa menyembuhkan kulit wajah yang terkena luka karena mampu mengeluarkan racun di kulit (detoxification). 

KHASIAT LAIN MUTIARA KERATON:
1. Bebaskan Flek hitam wajah
2. Jerawat
3. Bintik hitam
4. Lembutkan telapak tangan kasar
5. Bersihkan kerak di selangkangan
6. bersihkan payudara
7. bersihkan muka berminyak
8. Kutu air
9. haluskan Tumit pecah-pecah
10. sembuhkan gatal-gatal.

CARA PEMAKAIAN:
1. Pakai dua (2) kali sehari, pagi dan malam.
2. Gosok MUTIARA KERATON pada telapak tangan hingga berbusa (gunakan sesuai kebutuhan kita)
3. Usapkan ke wajah dengan lembut dan merata.
4. Diamkan sekitar 5-10 menit (sesuaikan dengan kondisi wajah, misalkan yang perlu perawatan intensive     seperti bekas luka, bisa biarkan cukup lama)
5. setelah itu bilas dengan air
6. jangan gunakan handuk untuk lap, biarkan saja mengering sendiri.
    Bila setelah dibilas masih terasa licin "sisa sabun" itu merupakan HMA microalgae yang berfungsi        melembabkan kulit, jadi biarkan saja tak perlu dibilas lagi.

Untuk membersihkan  dan merawat kecantikan kulit wajah, anda tidak perlu bayar mahal. Cukup dengan uang Rp. 15.000 /biji. Sabun MUTIARA KERATON ini dikemas dalam satu pak sebanyak 10 pcs. Hanya dengan uang Rp.150.000,- anda bisa membersihkan dan merawat kecantikan wajah. Silahkan buktikan sendiri! Untuk 10 orang pemesan pertama bebas ongkos kirim.

Anda hanya butuh 5 biji saja, bisa kami layani, cukup dengan uang  Rp.90.000,- (sudah termasuk ongkos kirim).

SILAHKAN BUKTIKAN DAN RASAKAN BEDANYA!
pemesanan hub: Sastra Annafi, 085315659714.


Kamis, 15 Maret 2012

Catatan Perjalanan


Setelah tertunda sebulan, rancangan pengantar buku. Tepatnya naskah buku yang lagi saya tulis ini terhenti sementara. Kebetulan Allah 'meminta' saya beristirahat--melalui kejadian jatuh sakit. Ya, sakit yang kata orang sepele, "moncor" alias diare selama sepekan. Yang parah-parahnya empat hari empat malam. Sampai-sampai aku merangkat dari kamar wc ke rumah. Begitulah cara Allah memberi ilmu. Mudah-mudahan jadi penggugur dosa-dosa. Karena tak tertanggulangi oleh obat semacam herbal (ramuan dedauan alami yang kebetulan ada di dekat rumah kami di kampung), 'terpaksa' memanggil dokter. Selama tiga hari dokter bolak-balik mengececk kondisiku. Hampir saja dibawa ke lab dan dirawat, kalau satu hari lagi masih tidak berhenti diarenya. Isteriku sempet khawatir juga. Khawatir aku keterusan apalagi sampai dirawat. Saya pun tak berharap begitu. selain ikhtiar dan doa. Tentu saja kasih sayang Allah jua. Sakit sedikit-demi sedikit berhenti. Aku tetap harus bersyukur. Semuanya Allah maha tahu kebutuhan hidupku. Meskipun agenda rencana bertemu ibu Cham, yang sudah oke memberi pengantar buku yang lagi disiapkan ini tertunda. Insyaallah ada waktu yang terbaik bagiku, begitulah pikiranku belajar berbaik sangka kepada Allah.

Benar saja. Hari jum'at, 9 Maret ada sms masuk. Dari stafnya beliau yang memberitahukan rencana agenda beliau ke Jakarta. Dan menanyakan kesiapanku, bisa bertemu tidaknya pada hari Selasa. Aku gembira sekaligus bingung. Gembira karena meski terhenti sejenak, toch waktu terbaiknya benar ada. Bingung, makanya tak segera kujawab. Keuanganku lagi tipis. Belum berbincang dengan isteriku. Tabunganku sudah habis pula terpakai. Uang istri ada, tapi di luar alias piutang. Akhirnya modal pinjaman dari saudaraku, aku punya ongkos untuk berangkat ke Jakarta. Dua ratus ribu. Cukup kiranya untuk sekedar ongkos dan makan semalam. Setelah istriku pulang dari acara keluarga, berbincanglah kami. Dan rencana memenuhi undangan bu Cham pun oke. Hari Senin pagi, aku balas sms ke stafnya. Dan sepakat bertemu waktu istirahat, sekitar maghrib.

Setelah cukup menyiapkan tas dengan isinya kebutuhan pribadi, selain makanan juga pakaian dan alat mandi dll. Bergegas pagi itu saya berangkat bareng isteri yang juga menuju kantornya. Maklum dari kampung menuju kota. Jadi lumayan harus cekatan mengatur waktu. Alhamdulilah hari cerah. Selesai makan di kantin. Saya seperti biasa menunaikan shalat dhuha, enam rakaat. Lalu  pamit berangkat, jam di tangan menunjuk angka sebelas. Mengejar kereta yang berangkat jam 12.00. Alhamdulillah angkutan menuju stasion cukup lancar. Meskipun sempat ngetem sekira sepuluh menit. Di tempat layanan karcis, aku beli tiket KA Bandung-Jakarta. Kukira sudah delapan puluh ribu--maklum sudah agak lama aku tak memakai Kereta menuju Jakarta. Ongkosnya masih enam puluh ribu, pakai Argo Parahyangan. Alhamdulillah. Cukup kiranya ongkos ini, pikirku.

Eks-1/ 4C. Itu yang tertera di tiket karcis. Jam 11:14. Saya pun menunjukan tiket karcis ke petugas penjaga di pintu masuk. Setelah ditandainya dengan coretan bukti pulpen ditangannya, saya masuk menuju kursi duduk tempat menunggu. Tepat mengarah ke selatan. Hanya beberapa menit saja duduk. Kulihat jam tangan. Angkat mendekati setengah dua belas. Lebih baik menunggu di dalam saja, toh keretanya sudah ada. Berjalan saja menuju gerbong. Benar saja keretanya sedang dibersihkan bagian luarnya. Tapi sudah masuk calon pengguna jasa kendaraan favoritku ini. Bahkan kulihat sebagian sudah mengisi kursi-kursi sesuai dengan tiket mereka. Satu dua tiga empat gerbong eksekutif itu aku lewati. Tepat di gerbong terdepan aku temukan tempatku. Sudah ada satu dua ..entah delapan atau sembilan orang yang sudah mengisi gerbong kelas satu ini. Deretan dimana nomerku ada masih kosong. Aha, kebetulan duduk saja aku di sisi supaya bisa melihat pemandanagn luar. Meskipun itu bukan untuk nomerku, tapi nomer setelahku. Benar saja, hanya sekitar sepuluh menit masuk seorang bapak badannya tinggi besar. Setelah permisi dengan sopan, mengakurkan nomer tiketnya. " Bolehkah saya duduk disini?" "Oya silahkan, nomer saya memang di sini, silahkan pak". Si bapak duduk tepat di tempat yang tadi sempat aku duduki sebentar. 

Nah karena dimulai dengan obrolan ringan dan tegur sapa sopan tadi, terasa enjoy saya duduk dekat si bapak itu. Akhirnya saya pun membuka obrolan dengan pertanyaan klasik, rencana tujuan si bapak. Dari situ lalu asyiklah kami berdua ngobrol seputar kegiatan beliau yang ternyata pengusaha wirausaha pakaian di daerah Cijerah. Bahkan kepergiannya pun untuk mengirim barang ke rekanannya. Konon di Jakarta pusat, tepatnya di Hotel Sahid. Saya tertarik dengan cerita usaha bapak yang akhirnya kuketahui namanya, Haji Herman. Bahkan saya pro aktip meminta nomer teleponnya."Siapa tahu bisa bermitra ke depannya. Apakah ada butuh pesana pakaian." kataku. "Ya, atau siapa tahu punya teman yang mau bikin atau pesan pakaian", sambungnya. saya senang sambutannya. Meskipun obrolan kami berdua kadang terhenti karena ada telepon masuk ke hapenya. Tampak sekali tanda-tanda kesibukan pak Herman ini. Terdengar pula suara perempuan dari jauh. "ini isterinya gubernur ....(saya pula lagi tempatnya) wilayah di pulau sumatera. konon katanya menanyakan pesanan pakaian.

Tak terasa karena obrolan asyik. Perjalanan tiga jam serasa singkat. Jam di tangan sudah mendekati angka tiga, tinggal belasan menit lagi. Stasiun Jatinegara pun sudah lewat. Seperti sudah lewatnya nasi goreng di perutku barusan. Setelah kuberitahu arah sambungan perjalanannya, lebih baik pakai busway saja turun di harmoni lalu naik lagi ke arah sahid, aku berkemas. Sengaja aku tanya temanku vias sms, kasihan pak Herman ini katanya baru kali ini lagi ke Jakarta pakai KA. jawaban tadi dari teman saya yang lama di Jakarta.

Sampai juga di Stasiun kota ini. Tepat jam 15.15. Setelah pamit duluan, saya bergegas jalan keluar stasiun. Kugelengkan kepala tanda menolak tawaran tukang ojek yang mangkal di sana di di perempatanyang kulewati. Terus aja aku berjalan menyusuri jalanan. Tidak menyebrang, karena aku tahu betul jalanan itu seirng kulewati. Jadi tetap di badan sebelah kanan jalan. Seberang jalan tugu tani, yang beberapa pekan lalu sempat heboh dengan berita mobil menabrak pejalan kaki. iih sempat ngeri juga saya selaku pejalan kaki. Tapi memang inilah kesukaanku kalau turun kendaraan memilih jalan kaki, apalagi yang dituju dekat. Bisa ditempuh hanya sekira seperempat jam atau lebih sedikit. Benar saja.  Jam 15.40 saya sudah sampai di masjid, di areal lokasi gedung yang dituju. Mengambil air wudu dan salat jama Asar dan Zuhur.

Aku pun sms-an dengan temanku yang bekerja di kantor lembaga zakat. Sebut saja namanya Taro. Dia memintaku naik saja ke lantai dimana kantornya berada. Tumben, menyarankan pakai lift. Padahal dulu seingatku lift di gedung kantornya tidak jalan. Temanku ini se-angkatan yang sempat sama-sama aktip di kegiatan kemahasiswaan. Di kantor lembaga zakat inilah dia bekerja sudah bertahun-tahun. Mengurus proposal-proposal yang meminta bantuan dana untuk pembangunan masjid, untuk ini itu urusan umat. Termasuk mereka yang mengajukan dana beasiswa untuk studi ke luar negeri. Wah kereeen. Kurang dari sepuluh menit saya sudah sampai di depan kantornya. Langsung menuju kamar kecil, wc. Karena ada yang ingin dibuang dari air yang saya minum tadi. Keluar kamar kecil di tangga bertemu dengan Taro. Langsung salaman dan dia mengajakku ke kantornya.
“Silahkan mau minum apa kopi atau teh manis?”, biasa khas keramahannya menerima tamu tidak berubah.
“Jangan kopi, suka terasa maag. Teh manis saja”,
 Sementara aku menyimpan tas disandarkan di dinding dekat jendela kaca. Sambil membuka jaket yang membuat gerah badanku, Taro membuatkan teh manis. Dan terhidang sudah di atas meja kerja. Saya duduk bersebelahan sambil bincang-bincang soal pribadi. Termasuk permintaan maafnya karena tidak bisa menghadiri pernikahan kami, padahal sudah lama bertahun lewat. Saya pun tersenyum, meminta maaf juga karena saya pun tak bisa menghadiri pernikahannya. Bedanya kini dia sudah punya momongan. Sedangkan aku belum. Masih ikhtiar dan doa. Dalam sela-sela obrolanku dengannya, sesekali dia mengenalkanku kepada teman-temannya di lingkungan kantor. “ini teman saya, senior di kegiatan mahasiswa dulu”. Wah kebiasaan dia dari dulu. Tapi bersyukur, aku jadi cepat kenal dan akrab dengan satu dua orang temannya yang ada di sana. Bahkan dia menitipkan saya yang akan menginap di sana. Setelah dijelaskan keperluanku ke sana, karena ada janji dengan bu Cham, mengurus pengantar buku yang lagi digarap.

Obrolan lain kesana kemari. Tapi tidak melantur ataupun menceritakan yang jelek atau gibah. Obrolan seputar kegiatan yang bisa membawa kemajuan lahir dan batin. Saling menguatkan mental untuk hidup sukses. Terutama dalam semangat menempuh  studi lanjutan. Tiba-tiba ada energi kuat melihat dan mendengar obrolannya padaku. Impian yang ingin melanjutkan studi ke luar negeri. Hebat! Saya mendukungnya. Karena saya pun punya impinannya yang sama menempuh studi ke luar negeri. Aku sudah suka menyatakan ingin studi ke Belanda, universitas Leiden. Meskipun hari ini studi pasca sarjanaku terhenti di penghujung akhir. Tapi entah kenapa mendengar studi di luar negeri, ko energi untuk belajar itu masih terasa menggebu. Aku pun teringat pada temanku sekolah yang kini sedang menempuh studi doktoralnya di Inggris. Wuiih kereen. Dari obrolanku dengan Taro, kesimpulan singkatnya ada spirit enegri yang sama, ingin mewujudkan impian belajar ke luar negeri. Kesempatan itu masih tetap ada. Termasuk jaringan beasiswa. Yang penting ada usaha. Salah satunya belajar bahasa yang benar! Saya membayangkan bisa studi di luar negeri. Bisa memboyong isteri, dan anak pula hadir menambah indah hidup kami. Bukan saja diri sendiri yang saya dan Taro pikirkan. Tetapi pula adik-adik angkatan kami semasa kuliah dulu. Karena sampai hari ini tak ada angkatan kami yang kuliah ke luar negeri, seperti kisah Sang Pemimpi, apalagi adik-adik tingkat kami. Sedih hati ini, kalau mengingat hal ini. Beda dengan yang lain dari daerah kota besar lain seperti Yogya, Solo, Malang, Surabaya, apalagi Jakarta. Banyak yang beterbangan studi ke luar negeri. Kita dari ibukota tanah Priangan ini belum ada yang studi ke luar negeri. Maksud saya, teman satu angkatan dan adik angkatan semasa mahasiswa dulu. Sesama aktivis kampus.

Tak terasa perbincangan ini menyeret jam sore ke angka 17 lebih setengahnya. Artinya magrib tinggal setengah jam lagi. Saya pun mengakhiri obrolan untuk mandi. Karena badan terasa gerah. Sambil siap-siap menjelang magrib. Kalau-kalau keburu bu Cham datang atau mengontakku. Hampir magrib tiba. Sudah segeer badanku. Persiapan yang perlu untuk bertemu bu Cham sudah dilakukan. Termasuk mengontak stafnya via sms. Dan sudah oke. Bahkan langsung sms bu Cham. Yang dapat jawaban,” saya masih rapat”. Nanti saya hubungi lagi. Kemudian ketika magrib tiba kembali dapat jawaban sms,” Saya salat dulu. Nanti saya beritahu lagi”. Saya pun menunaikan kewajiban hamba kepada Allah, salat magrib dan isya disatukan---karena lagi safar. Temanku Taro masih ada di kantor. Habis magrib biasanya pulang. Seperti itu penjelasannya tadi. Benar saja dia pamitan setelah salat magrib, pulang ke tempat tinggalnya di kawasan Jakarta timur. Sementara saya kembali menunggu bu Cham. Tak lama berselang jam mendekati 18.25, sms beliau masuk. Mempersilahkan aku segera menuju ruangan dimana beliau berada. Bergegas aku menemuinya. Saya sadar, saya orang yang membutuhkan beliau. Waktunya sangat berharga. Mungkin tak lama hanya setengah ata satu jam. Ah satu jam tidak mungkin, istilahnya juga bertemu di sela istirahat rapat penting.

Alhamdulillah akhirnya saya bisa memenuhi undangannya untuk bertemu. Di ruangan itu saya dan bu Cham bertemu berhadapan dihubungkan sebuah meja. Meskipun sebenarnya sudah sempat kenal dan ngobrol sebelumnya di Yogya setahun sebelumnya, bu Cham kembali ingin mengenalku lebih jauh. Soal aktivitas kegiatanku. Yang kujelaskan lebih rinci. Wal hasil dalam obrolan yang hangat meski hanya sekitar tengah jam itu, saya sangat senang. Karena bu Cham orang yang sibuk seperti itu ternyata telah mengorbankan waktunya untuk saya. Termasuk semalam disela-sela kesibukannya menyempatkan diri membaca naskahku, meskipun belum tuntas semua. Pada intinya bu Cham menyatakan,” Gembira dengan munculnya naskah ini. Karena ada lelaki yang mau menulis tentang dunia gerakan perempuan.” Saya mendengarnya cukup senang. Terlebih bu Cham memberikan koreksi atau masukan supaya melengkapi naskah saya dengan bahan-bahan yang akan diberikannya. Perbincangan hangat itu bu Cham memberikan apresiasi positip dan mendukung banget naskah yang saya sampaikan, soal pengantar buku its oke. Dan penambahan materi lebih membuat mantap. Itu yang saya gembira. Dan kemudian bu Cham berharap saya bisa bertemu lagi setelah “penyempurnaan” materi naskah buku ini. Saya pun menyatakan kesiapan menyanggupi masukan bagus beliau. Tak lupa ucapan terima kasih saya buat beliau.

Dengan pertemuan langsung ini. Artinya perjalanan menulis buku ini sudah memasuki delapan puluh persen atau sembilan puluh persen. Tambahan sisanya sedikit itu akan melengkapi menyempurnakan naskah ini makin mantap. Semoga! Saya pun pamit kembali ke ruangan dengan hati gembira. Pertemuan yang singkat hanya setengah jam. Tapi memiliki nilai kualitas. Karena seorang guru besar mau menyempatkan diri bertemu saya, sementara beliau sendiri dalam kesibukan acara. Bahkan setelah acara malam itu besok pagi beliau kembali ke Yogya. Dan kemudian beberapa pekan ada acara ke luar. Jadi inilah saya katakan beliau orang ‘penting’ bukan saja bagi saya pribadi. Tetapi orang ‘penting’ bagi banyak orang lain. Buktinya dia dipinta mengisi acara ini itu di sejumlah kota besar di tanah air. Bahkan harus berangkat memenuhi undangan ke luar.

Semoga perjalanan saya ini penuh makna. Berguna bukan saja bagi diri sendiri. Tapi bisa bermanfaat kelak bagi orang lain. Karena Menulis adalah pekerjaan pencerahan. Menulis pekerjaan mulia bahkan menulis pun adalah rangkaian ibadah. Karena yang saya tulis menuju arah supaya pembaca menambah wawasan, termotivasi untuk lebih semangat memajukan sumber daya manusia umat dan bangsa ini.  













Senin, 13 Februari 2012

satu tahun

hari ini satu tahun yang lalu,
alhamdulillah aku menjalani hidup baru
menjalani perjanjian kokoh kemanusiaan dan
keIlahian
semoga jalan hidup diberkahi Allah Swt
dalam mengikuti jalan para nabi---
khususon kanjeng nabi Muhammad Saw.

13-02-12, 09.48

Kamis, 09 Februari 2012

Qurban dari Ritual ke Sosial


SRS*
Dalam Al-Qur’an kisah qurban identik dengan jejak keluarga nabi Ibrahim, yang kini diteruskan para pengikut ajaran tauhid dengan ibadah Qurban setiap bulan Zulhijah. Ibrahim, Siti Hajar dan Ismail adalah mereka yang terlibat langsung dalam proses ibadah qurban. Kesabaran mereka diuji, dimana lolos dan lulusnya ujian ini membuat kedudukan Ibrahim menjadi manusia yang taqarub (dekat) kepada Allah.
Selain keluarga Ibrahim, kisah qurban sebelumnya ada dalam kisah keluarga nabi Adam. Dua puteranya Habil dan Qabil melaksankan qorban dengan harta benda mereka demi mendekatkan diri dan menggapai rido Allah. Dimana kisah qurban dua anak Adam ini dalam proses meminta keridoan Allah untuk menentukan perempuan calon isterinya yang diperebutkan, Iqlima. Konon qurban Habil yang tulus berupa harta materi hasil peternakannya yang diterima Allah. Sementara qurban harta materi Qabil berupa hasil pertanian tertolak, karena tidak tulus.  Dan tragisnya kisah qurban ini berujung korban. Habil menjadi korban kekerasan sikap saudaranya, Qabil yang nafsunya kuat untuk memiliki yang bukan miliknya yakni Iqlima.
Dalam kisah anak Adam, ada hikmah pelajaran bahwa manusia dihingga nafsu ego memiliki hartabenda atau materi yang bukan hak miliknya. Ada jiwa rakus ingin merampas hak orang lain. Kedua anak Adam diuji sejauhmana mereka melaksanakan ibadah denagn tulus dengan memerdekakan diri dari jiwa-jiwa serakah atas kepemilikan hartabenda atau materi yangamat dicintainya, yang waktu itu dalam wujud perempuan cantik Iqlima.
Nah, dalam kisah keluarga Ibrahim pun sesungguhnya Ibrahim diuji untuk membebaskan dirinya dari nafsu egois manusia yang suka merasa hartabenda atau materi itu miliknya. Allah menguji keteguhan tauhid Ibrahim untuk mengorbankan hawa nafsu rasa memiliki atas hartabenda atau materi yang amat dicintainya. Waktu itu Ismail adalah anak semata wayang yang amat dicintainya. Anak tumpuan harapan penerus generasinya. Sungguh ujian hebat. Anak kesayangan, satu-satunya harus dikorbankan demi qurban (mendekatkan diri) kepada Allah. Manusia mana yang tidak akan merasa goncang jiwanya. Alhamdulilah, Ibrahim dan keluarganya lolos dan lulus dari ujian ini. Keluarga Ibrahim mencapai puncak kesadaran bahwa segala sesuatu (materi) adalah milik Allah, termasuk anak yang amat dicintainya. Ketulusannya yang sejati mengantarnya menjadi peribadi yang layak digelari Khalilullah (kekasih Allah). Jadilah Ibrahim hamba yang taqarub (dekat) dengan Allah.
Sementara pengorbanan anaknya, diganti dengan hewan ternak (domba). Ibadah qurban Ibrahim kini diteruskan para penganut ajaran tauhid setiap bulan Zulhijah (bulan yang berbarengan dengan ibadah haji).

Qurban dengan Hewan Ternak
Ada pertanyaan menggelitik, kenapa qurban mesti dengan hewan ternak? Pada dasarnya qurban adalah latihan pengorbanan diri untuk mengikis jiwa-jiwa hewan dalam diri kita. Bukankah dalam diri setiap manusia ada karakter atau sifat hewan.
Anjing memiliki sifat suka menggonggong tapi kemudian diam karena diberi tulang (makanan). Babi biasa hidup berkubang di tempat kotor dan bergerak sebatas yang dilihat, tak memperdulikan sekelilingnya. Monyet, sifatnya rewel dan bila melihat makanan biasanya rakus. Sedangkan hewan ternak (sapi, domba, kambing, unta) bersifat penurut. Kemanapun dibawa mengikuti meskipun misalnya dibawa ke tepi jurang.
Qurban melatih kita untuk membebaskan diri dari sifat-sifat hewan seperti di atas. Jangan berperilaku :Pertama, manusia-anjing yang pandai “menggonggong” (mengomentari) orang lain hanya dengan motivasi untuk memenuhi isi perutnya. Kedua, manusia-babi yang suka berdiam dalam tempat yang kotor (perbuatan dosa) dan tak mau diberi nasehat orang lain. Bersikap membabi-buta. Ketiga, manusia-monyet, yang mulutnya recok dan rakus memperebutkan isi perutnya. Keempat, manusia-ternak yang suka manut menurut taqlid-buta tanpa menggunakan kecerdikan akal sehatnya, sehingga bisa terbawa arus pada hal yang bisa mencelakakannya.
Diantara hewan tersebut diatas, dalam ibadah qurban ternyata hewan ternak yang dipilih dijadikan hewan qurban. Kenapa? Karena hewan ternak selain penurut—memang dagingnya layak dikonsumsi manusia. Qurban yang intinya ketaqwaannya untuk mendekatkan diri pada Allah, bukan dagingnya atau darahnya yang sampai dari yang melaksanakan qurban. Adapun daging ternak qurban itu bisa ditebarkan untuk dikonsumsi orang lain. Ini menunjukan bahwa qurban itu bukan sekedar ibadah ritual. Tapi berdimensi sosial. Artinya untuk mendekatkan diri (taqarub) kepada Allah kita dituntut untuk menjadi manusia yang peduli terhadap sesama manusia lainnya. Tidak hidup dengan jiwa egois dan mementingkan diri sendiri. Terutama dalam urusan kebutuhan primer dalam hidup, yakni isi perut.
Soal isi perut (makanan) dan kepedulian sosial, lagi-lagi penulis ingat kisah Ibrahim yang  popular dengan kebiasaannya untuk mengundang makan bersama (berjama’ah). Konon beliau tidak mau makan bila tidak berjama’ah. Luar biasa. Dan ini pula menjadi kebiasaan sang nabi saw. Sepertinya sederhana dan sepele. Padahal ini perbuatan mendasar menyangkut urusan pokok hidup orang lain. Kepedulian memperhatikan kebutuhan primer orang lain adalah sunah nabi Muhammad dan tradisi Ibrahim.
Bagaimana dengan kita? Alih-laih pandai berqurban diri untuk kepentingan orang lain. Alih-alih pandai mengabaikan ego nafsu kepada materi. Yang terjadi jangan-jangan keserakahan diri untuk hidup egois dan ingin memiliki kekayaan materi secara rakus. Bahkan tidak jarang harta benda (materi) hak milik orang lain pun dikuasainya sendiri. Perilaku bohong, manipulasi, kolusi,  rekayasa, atau korupsi adalah gejala manusia yang hidupnya egois dan serakah pada harta benda (materi). Sudahkah kita bisa menebarkan sikap qurban untuk sesama? Sehingga qurban bukan berhenti setahun sekali. Tapi esensinya bisa dijalani setiap hari. Marilah berdialog dengan diri sendiri. Wallahu’alam. 

Pesan Prubahan Sosial dan Cinta Lingkungan: dalam syair Lagu Franky Sahilatua & Jane

 

Meskipun kau tak pernah ke desa
Padi-padi terus tumbuh
Meskipun kau tak pernah ke kota
Orang-orang terus gelisah

Di desa di kota tumbuh  dan gelisah
 Seperti kembang dalam belukar
Seperti mata air kehilangan sungai.

Desa dimiliki oleh orang kota
Kota dimiliki orang desa
Petani mencari kerja di kota
Orang kota mencari kekayaan di desa

Apalagikah yang tersisa  bagi kau  dan aku?

Di desa di kota tumbuh  dan gelisah
Seperti kembang dalam belukar
Seperti mata air kehilangan sungai.


ITULAH syair lagu berjudul ”Seperti sungai kehilangan air”  karya Franky Sahilatua yang dinyanyikan duet dengan Jane. Menggambarkan pesan perubahan sosial dari masyarakat desa (baca: tradisional bercorak agraris) menjadi masyarakat kota (baca: industri). Perubahan sosial digambarkan dengan munculnya kegelisahan jiwa dari masyarakat desa yang mengalami pergeseran nilai.
Uniknya masyarakat yang sudah melampaui (mengalami) kondisi sosial corak kota ternyata juga mengalami kegelisahan jiwa. Padahal kehidupan ala kota itu yang dirindukan masyarakat desa yang sedang ingin berubah. Laksana sungai kehilangan sumbernya (air).
Ini syair seolah mewakili potret jiwa yang sedang resah gelisah karena dampak negatip kemajuan modern (baca: masyarakat industri). Sekaligus menunjukan kesadaran jiwa manusia yang cinta dan peduli terhadap nasib lingkungan hidup. Yang mana sekarang ini sedang menerpa negeri zambrut khatulistiwa.

Nusantara: Potret Zambrut di Khatulistiwa
            Hamka. Salahseorang tokoh yang menyatakan bahwa negeri kita laksana ”zambrut di khatulistiwa”. Ungkapannya tidak salah. Zambrut adalah permata, yang biasanya dibanggakan pecinta perhiasan (wanita). Jika bola dunia diilustrasikan sebagai tubuh kaum wanita nan elok, sepertinya tak berlebihan. Kesuburan tubuhnya dilengkapi dengan keadaan nan indah bagi siapapun yang pernah bisa melihatnya. Permata keindahan dunia ini, ya bumi nusantara yang melingkari leher bumi (baca: khatulistiwa). Sehingga konon sampai ada sastrawan yang menuliskan ”Tuhan tersenyum ketika menciptakan tanah Priangan” . Sebuah ungkapan yang terkesan hiperbola. Tapi itulah ungkapan betapa indah dan suburnya negeri nusantara ini.
Seperempat lingkaran bumi ini adalah panjang nusantara. Sehingga negeri ini mengalami tiga waktu berbeda (WIB, WITENG, WIT). Posisinya pun sangat strategis secara geografis. Meskipun tak sedahsyat posisi strategis ”Timur Tengah” secara Geo-historis dan  geo-politis. Tapi secara geografis negeri zambrut khatulistiwa ini memang sangat strategis bagi perkembangan lingkungan hidup dan ekosistem dunia. Garis pantai negeri ini termasuk terpanjang di dunia. Barisan gunung berapi yang memberi kesuburan tanahnya pun berada di sini. Kekayaan sumber daya bahari (laut) nya di sini. Sumber daya energi yang tak bisa diperbaharui (tambang) dan energi yang bisa diperbaharui (baca: organik atau daya hayati) melimpah pula di sini.
Barulah penulis memahami akan materi pelajaran ”wawasan nusantara”. Yang tempo dulu-- ketika penulis kecil berada di kelas sekolah dasar--pernah kami terima sebagai hapalan saja.  Negeri ini terkenal dengan sebutan negeri yang ada dalam posisi silang dunia, antara dua samudera Hindia dan Pasifik dan dua benua Asia dan Australia.
Namun apakah hari ini pelajaran ”wawasan nusantara” masih diberikan di sekolah? Atau kalaupun diberikan masih sama sebatas bahan hafalan di otak-otak siswa didik? Penulis tidak tahu.  Sepertinya materi wawasan nusantara masih relevan. Bahkan menjadi urgen untuk diberikan dengan metode yang lebih mendorong kesadaran kritis anak didik. Sehingga setelag dikaji bisa mendorong munculnya pemahaman mereka dan melahirkan kesadaran pada pentingnya mensyukuri potensi alam ini. Tentunya kelak mereka dewasa dan menjadi pemimpin bangsa bisa memberdayakan potensi alam ini dengan arif-bijaksana. Tidak sekedar melakukan eksplotasi serampangan atas nama ”pembangunan”. Tetapi ujung-ujungnya memuaskan nafsu mengeruk kekayaan materil sendiri dengan melupakan nasib anak-cucu bangsa ini di masa depannya. Seperti kebanyakan oknum para pemegang kekuasaan ataupun pengusaha yang pandangannya hanya berkutat pada persoalan keuntungan material an sich. Sehingga mengakibatkan kerusakan sumber daya alam yang merupakan  amanat Ilahi ini.


Budaya Eksplotatif dan Pemimpin Bangsa
Memprihatinkan memang. Potensi sumber daya manusia yang melimpah (terbesar keempat) di dunia, secara kuantitatif tenyata belum bisa diimbangi potensi SDM secara kualitatif. Buktinya kerusakan lingkungan alam, ekosistem makhluk hayati di dalamnya tak terelakan. Kesadaran pentingnya mensyukuri amanat Tuhan dengan mengolahnya secara adil dan bijaksana sehingga menjaga keseimbangan eksistem masih sangat minim. Budaya hidup eksploitatif cenderung besar dalam masyarakat kita. Pembabatan hutan serampangan. Pencurian hasil bumi alam (hutan) dll menjadi kebiasaan masyarakat kita.
Budaya melestarikan keseimbangan lingkungan alami sangat minim. Budaya eksplotatif ini pun tampak jelas kelihatan pada sikap mental oknum para pemegang kebijakan yang eksplotatif. Baik terhadap kekayaan alam organik (baca: hutan, pertanian, atau pun kelautan) ataupun eksplorasi kekayaan tambang dan energi.
Sikap demikian menunjukan sikap mental manusia yang kurang (tidak) pandai mensyukuri nikmat anugerah ilahi. Meskipun tidak berhubungan langsung, rasa-rasanya patut jadi bahan renungan. Jangan-jangan  dampak negatip dari sikap mental tersebut mengakibatkan perilaku yang serampangan dalam melakukan eksploitasi terhadap alam. Sehingga alam pun jadi tidak ramah lagi pada kita. Terjadilah banjir, longsor dan lain-lain kejadian alam yang tidak cukup kita anggap sebagai kesalahan alam. Boleh jadi sikap kita yang salah dalam memperlakukan alam.
Sehingga itu jadi  bukti-bukti kurang atau tidak sempurnanya sikap syukuran kita. Memprihatinkan lagi karena catatan statistika bangsa penghuni negeri ini adalah mayoritas Muslim. Yang mana dalam sumber ajarannya jelas mengamanatkan bahwa pengelolaan sumber daya alam secara bijaksana adalah kewajiban dan sekaligus indikator sebagai manusia beriman. Ataukah ini indikator keimanan kita masih rapuh. Sepertinya kita masih berpola pikir parsial atau sekuler. Dengan ”tanpa sadar” seolah beranggapan bahwa membiarkan kerusakan alam atau eksosistem yang subur dan indah ini bukan sebagai dosa besar. Ataukah memelihara keseimbangan eksistem dan lingkungan yang ramah, indah, dan kaya sumber daya alam ini seolah bukan rangkaian ibadah? Cara pandang demikian adalah sikap mental yang tidak mencerminkan sikap orang yang tak bersyukur. Alias kufur nikmat. Wallahu a’lam.
Yang pasti kita mesti melakukan evaluasi diri dan mengkritisi diri, sudah sejauhmana keimanan kita dalam menjalankan dan memelihara amanat tanah air ini? Dalam hal ini para pemuka masyarakat, pimpinan ormas keagamaan apapun namanya, tentunya dituntut untuk ”mendidik” kader-kadernya untuk menyadari persoalan penting ini.
Selain itu kita pun punya harapan hadir pemimpin bangsa yang salahsatunya punya visi  misi dan mental untuk memajukan negeri ini dengan memihak rakyat banyak dengan kebijakan yang peduli pada lingkungan. Kita tak berharap para pemimpin bangsa, yang alih-alih memelihara kelestarian lingkungan, tapi justru yang ada mengeluarkan kebijakan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan. Yang diilustrasikan sebagai orang pembuat kerusakan (mufsidun), tetapi merasa dirinya sebagai pembuat amal saleh (muslihun). Merasa dirinya sedang membangun, padahal sedang melakukan kerusakan atas alam lingkungan. Karena karakter demikian adalah perilaku eko-teroris –teroris lingkungan (Abdurahman, 2007).
***
            Masih 12 Zulhijjah 1431 H [29 Dec 09]
Bung Syaf (Sastra Annafie Assuja)