Kamis, 15 Maret 2012

Catatan Perjalanan


Setelah tertunda sebulan, rancangan pengantar buku. Tepatnya naskah buku yang lagi saya tulis ini terhenti sementara. Kebetulan Allah 'meminta' saya beristirahat--melalui kejadian jatuh sakit. Ya, sakit yang kata orang sepele, "moncor" alias diare selama sepekan. Yang parah-parahnya empat hari empat malam. Sampai-sampai aku merangkat dari kamar wc ke rumah. Begitulah cara Allah memberi ilmu. Mudah-mudahan jadi penggugur dosa-dosa. Karena tak tertanggulangi oleh obat semacam herbal (ramuan dedauan alami yang kebetulan ada di dekat rumah kami di kampung), 'terpaksa' memanggil dokter. Selama tiga hari dokter bolak-balik mengececk kondisiku. Hampir saja dibawa ke lab dan dirawat, kalau satu hari lagi masih tidak berhenti diarenya. Isteriku sempet khawatir juga. Khawatir aku keterusan apalagi sampai dirawat. Saya pun tak berharap begitu. selain ikhtiar dan doa. Tentu saja kasih sayang Allah jua. Sakit sedikit-demi sedikit berhenti. Aku tetap harus bersyukur. Semuanya Allah maha tahu kebutuhan hidupku. Meskipun agenda rencana bertemu ibu Cham, yang sudah oke memberi pengantar buku yang lagi disiapkan ini tertunda. Insyaallah ada waktu yang terbaik bagiku, begitulah pikiranku belajar berbaik sangka kepada Allah.

Benar saja. Hari jum'at, 9 Maret ada sms masuk. Dari stafnya beliau yang memberitahukan rencana agenda beliau ke Jakarta. Dan menanyakan kesiapanku, bisa bertemu tidaknya pada hari Selasa. Aku gembira sekaligus bingung. Gembira karena meski terhenti sejenak, toch waktu terbaiknya benar ada. Bingung, makanya tak segera kujawab. Keuanganku lagi tipis. Belum berbincang dengan isteriku. Tabunganku sudah habis pula terpakai. Uang istri ada, tapi di luar alias piutang. Akhirnya modal pinjaman dari saudaraku, aku punya ongkos untuk berangkat ke Jakarta. Dua ratus ribu. Cukup kiranya untuk sekedar ongkos dan makan semalam. Setelah istriku pulang dari acara keluarga, berbincanglah kami. Dan rencana memenuhi undangan bu Cham pun oke. Hari Senin pagi, aku balas sms ke stafnya. Dan sepakat bertemu waktu istirahat, sekitar maghrib.

Setelah cukup menyiapkan tas dengan isinya kebutuhan pribadi, selain makanan juga pakaian dan alat mandi dll. Bergegas pagi itu saya berangkat bareng isteri yang juga menuju kantornya. Maklum dari kampung menuju kota. Jadi lumayan harus cekatan mengatur waktu. Alhamdulilah hari cerah. Selesai makan di kantin. Saya seperti biasa menunaikan shalat dhuha, enam rakaat. Lalu  pamit berangkat, jam di tangan menunjuk angka sebelas. Mengejar kereta yang berangkat jam 12.00. Alhamdulillah angkutan menuju stasion cukup lancar. Meskipun sempat ngetem sekira sepuluh menit. Di tempat layanan karcis, aku beli tiket KA Bandung-Jakarta. Kukira sudah delapan puluh ribu--maklum sudah agak lama aku tak memakai Kereta menuju Jakarta. Ongkosnya masih enam puluh ribu, pakai Argo Parahyangan. Alhamdulillah. Cukup kiranya ongkos ini, pikirku.

Eks-1/ 4C. Itu yang tertera di tiket karcis. Jam 11:14. Saya pun menunjukan tiket karcis ke petugas penjaga di pintu masuk. Setelah ditandainya dengan coretan bukti pulpen ditangannya, saya masuk menuju kursi duduk tempat menunggu. Tepat mengarah ke selatan. Hanya beberapa menit saja duduk. Kulihat jam tangan. Angkat mendekati setengah dua belas. Lebih baik menunggu di dalam saja, toh keretanya sudah ada. Berjalan saja menuju gerbong. Benar saja keretanya sedang dibersihkan bagian luarnya. Tapi sudah masuk calon pengguna jasa kendaraan favoritku ini. Bahkan kulihat sebagian sudah mengisi kursi-kursi sesuai dengan tiket mereka. Satu dua tiga empat gerbong eksekutif itu aku lewati. Tepat di gerbong terdepan aku temukan tempatku. Sudah ada satu dua ..entah delapan atau sembilan orang yang sudah mengisi gerbong kelas satu ini. Deretan dimana nomerku ada masih kosong. Aha, kebetulan duduk saja aku di sisi supaya bisa melihat pemandanagn luar. Meskipun itu bukan untuk nomerku, tapi nomer setelahku. Benar saja, hanya sekitar sepuluh menit masuk seorang bapak badannya tinggi besar. Setelah permisi dengan sopan, mengakurkan nomer tiketnya. " Bolehkah saya duduk disini?" "Oya silahkan, nomer saya memang di sini, silahkan pak". Si bapak duduk tepat di tempat yang tadi sempat aku duduki sebentar. 

Nah karena dimulai dengan obrolan ringan dan tegur sapa sopan tadi, terasa enjoy saya duduk dekat si bapak itu. Akhirnya saya pun membuka obrolan dengan pertanyaan klasik, rencana tujuan si bapak. Dari situ lalu asyiklah kami berdua ngobrol seputar kegiatan beliau yang ternyata pengusaha wirausaha pakaian di daerah Cijerah. Bahkan kepergiannya pun untuk mengirim barang ke rekanannya. Konon di Jakarta pusat, tepatnya di Hotel Sahid. Saya tertarik dengan cerita usaha bapak yang akhirnya kuketahui namanya, Haji Herman. Bahkan saya pro aktip meminta nomer teleponnya."Siapa tahu bisa bermitra ke depannya. Apakah ada butuh pesana pakaian." kataku. "Ya, atau siapa tahu punya teman yang mau bikin atau pesan pakaian", sambungnya. saya senang sambutannya. Meskipun obrolan kami berdua kadang terhenti karena ada telepon masuk ke hapenya. Tampak sekali tanda-tanda kesibukan pak Herman ini. Terdengar pula suara perempuan dari jauh. "ini isterinya gubernur ....(saya pula lagi tempatnya) wilayah di pulau sumatera. konon katanya menanyakan pesanan pakaian.

Tak terasa karena obrolan asyik. Perjalanan tiga jam serasa singkat. Jam di tangan sudah mendekati angka tiga, tinggal belasan menit lagi. Stasiun Jatinegara pun sudah lewat. Seperti sudah lewatnya nasi goreng di perutku barusan. Setelah kuberitahu arah sambungan perjalanannya, lebih baik pakai busway saja turun di harmoni lalu naik lagi ke arah sahid, aku berkemas. Sengaja aku tanya temanku vias sms, kasihan pak Herman ini katanya baru kali ini lagi ke Jakarta pakai KA. jawaban tadi dari teman saya yang lama di Jakarta.

Sampai juga di Stasiun kota ini. Tepat jam 15.15. Setelah pamit duluan, saya bergegas jalan keluar stasiun. Kugelengkan kepala tanda menolak tawaran tukang ojek yang mangkal di sana di di perempatanyang kulewati. Terus aja aku berjalan menyusuri jalanan. Tidak menyebrang, karena aku tahu betul jalanan itu seirng kulewati. Jadi tetap di badan sebelah kanan jalan. Seberang jalan tugu tani, yang beberapa pekan lalu sempat heboh dengan berita mobil menabrak pejalan kaki. iih sempat ngeri juga saya selaku pejalan kaki. Tapi memang inilah kesukaanku kalau turun kendaraan memilih jalan kaki, apalagi yang dituju dekat. Bisa ditempuh hanya sekira seperempat jam atau lebih sedikit. Benar saja.  Jam 15.40 saya sudah sampai di masjid, di areal lokasi gedung yang dituju. Mengambil air wudu dan salat jama Asar dan Zuhur.

Aku pun sms-an dengan temanku yang bekerja di kantor lembaga zakat. Sebut saja namanya Taro. Dia memintaku naik saja ke lantai dimana kantornya berada. Tumben, menyarankan pakai lift. Padahal dulu seingatku lift di gedung kantornya tidak jalan. Temanku ini se-angkatan yang sempat sama-sama aktip di kegiatan kemahasiswaan. Di kantor lembaga zakat inilah dia bekerja sudah bertahun-tahun. Mengurus proposal-proposal yang meminta bantuan dana untuk pembangunan masjid, untuk ini itu urusan umat. Termasuk mereka yang mengajukan dana beasiswa untuk studi ke luar negeri. Wah kereeen. Kurang dari sepuluh menit saya sudah sampai di depan kantornya. Langsung menuju kamar kecil, wc. Karena ada yang ingin dibuang dari air yang saya minum tadi. Keluar kamar kecil di tangga bertemu dengan Taro. Langsung salaman dan dia mengajakku ke kantornya.
“Silahkan mau minum apa kopi atau teh manis?”, biasa khas keramahannya menerima tamu tidak berubah.
“Jangan kopi, suka terasa maag. Teh manis saja”,
 Sementara aku menyimpan tas disandarkan di dinding dekat jendela kaca. Sambil membuka jaket yang membuat gerah badanku, Taro membuatkan teh manis. Dan terhidang sudah di atas meja kerja. Saya duduk bersebelahan sambil bincang-bincang soal pribadi. Termasuk permintaan maafnya karena tidak bisa menghadiri pernikahan kami, padahal sudah lama bertahun lewat. Saya pun tersenyum, meminta maaf juga karena saya pun tak bisa menghadiri pernikahannya. Bedanya kini dia sudah punya momongan. Sedangkan aku belum. Masih ikhtiar dan doa. Dalam sela-sela obrolanku dengannya, sesekali dia mengenalkanku kepada teman-temannya di lingkungan kantor. “ini teman saya, senior di kegiatan mahasiswa dulu”. Wah kebiasaan dia dari dulu. Tapi bersyukur, aku jadi cepat kenal dan akrab dengan satu dua orang temannya yang ada di sana. Bahkan dia menitipkan saya yang akan menginap di sana. Setelah dijelaskan keperluanku ke sana, karena ada janji dengan bu Cham, mengurus pengantar buku yang lagi digarap.

Obrolan lain kesana kemari. Tapi tidak melantur ataupun menceritakan yang jelek atau gibah. Obrolan seputar kegiatan yang bisa membawa kemajuan lahir dan batin. Saling menguatkan mental untuk hidup sukses. Terutama dalam semangat menempuh  studi lanjutan. Tiba-tiba ada energi kuat melihat dan mendengar obrolannya padaku. Impian yang ingin melanjutkan studi ke luar negeri. Hebat! Saya mendukungnya. Karena saya pun punya impinannya yang sama menempuh studi ke luar negeri. Aku sudah suka menyatakan ingin studi ke Belanda, universitas Leiden. Meskipun hari ini studi pasca sarjanaku terhenti di penghujung akhir. Tapi entah kenapa mendengar studi di luar negeri, ko energi untuk belajar itu masih terasa menggebu. Aku pun teringat pada temanku sekolah yang kini sedang menempuh studi doktoralnya di Inggris. Wuiih kereen. Dari obrolanku dengan Taro, kesimpulan singkatnya ada spirit enegri yang sama, ingin mewujudkan impian belajar ke luar negeri. Kesempatan itu masih tetap ada. Termasuk jaringan beasiswa. Yang penting ada usaha. Salah satunya belajar bahasa yang benar! Saya membayangkan bisa studi di luar negeri. Bisa memboyong isteri, dan anak pula hadir menambah indah hidup kami. Bukan saja diri sendiri yang saya dan Taro pikirkan. Tetapi pula adik-adik angkatan kami semasa kuliah dulu. Karena sampai hari ini tak ada angkatan kami yang kuliah ke luar negeri, seperti kisah Sang Pemimpi, apalagi adik-adik tingkat kami. Sedih hati ini, kalau mengingat hal ini. Beda dengan yang lain dari daerah kota besar lain seperti Yogya, Solo, Malang, Surabaya, apalagi Jakarta. Banyak yang beterbangan studi ke luar negeri. Kita dari ibukota tanah Priangan ini belum ada yang studi ke luar negeri. Maksud saya, teman satu angkatan dan adik angkatan semasa mahasiswa dulu. Sesama aktivis kampus.

Tak terasa perbincangan ini menyeret jam sore ke angka 17 lebih setengahnya. Artinya magrib tinggal setengah jam lagi. Saya pun mengakhiri obrolan untuk mandi. Karena badan terasa gerah. Sambil siap-siap menjelang magrib. Kalau-kalau keburu bu Cham datang atau mengontakku. Hampir magrib tiba. Sudah segeer badanku. Persiapan yang perlu untuk bertemu bu Cham sudah dilakukan. Termasuk mengontak stafnya via sms. Dan sudah oke. Bahkan langsung sms bu Cham. Yang dapat jawaban,” saya masih rapat”. Nanti saya hubungi lagi. Kemudian ketika magrib tiba kembali dapat jawaban sms,” Saya salat dulu. Nanti saya beritahu lagi”. Saya pun menunaikan kewajiban hamba kepada Allah, salat magrib dan isya disatukan---karena lagi safar. Temanku Taro masih ada di kantor. Habis magrib biasanya pulang. Seperti itu penjelasannya tadi. Benar saja dia pamitan setelah salat magrib, pulang ke tempat tinggalnya di kawasan Jakarta timur. Sementara saya kembali menunggu bu Cham. Tak lama berselang jam mendekati 18.25, sms beliau masuk. Mempersilahkan aku segera menuju ruangan dimana beliau berada. Bergegas aku menemuinya. Saya sadar, saya orang yang membutuhkan beliau. Waktunya sangat berharga. Mungkin tak lama hanya setengah ata satu jam. Ah satu jam tidak mungkin, istilahnya juga bertemu di sela istirahat rapat penting.

Alhamdulillah akhirnya saya bisa memenuhi undangannya untuk bertemu. Di ruangan itu saya dan bu Cham bertemu berhadapan dihubungkan sebuah meja. Meskipun sebenarnya sudah sempat kenal dan ngobrol sebelumnya di Yogya setahun sebelumnya, bu Cham kembali ingin mengenalku lebih jauh. Soal aktivitas kegiatanku. Yang kujelaskan lebih rinci. Wal hasil dalam obrolan yang hangat meski hanya sekitar tengah jam itu, saya sangat senang. Karena bu Cham orang yang sibuk seperti itu ternyata telah mengorbankan waktunya untuk saya. Termasuk semalam disela-sela kesibukannya menyempatkan diri membaca naskahku, meskipun belum tuntas semua. Pada intinya bu Cham menyatakan,” Gembira dengan munculnya naskah ini. Karena ada lelaki yang mau menulis tentang dunia gerakan perempuan.” Saya mendengarnya cukup senang. Terlebih bu Cham memberikan koreksi atau masukan supaya melengkapi naskah saya dengan bahan-bahan yang akan diberikannya. Perbincangan hangat itu bu Cham memberikan apresiasi positip dan mendukung banget naskah yang saya sampaikan, soal pengantar buku its oke. Dan penambahan materi lebih membuat mantap. Itu yang saya gembira. Dan kemudian bu Cham berharap saya bisa bertemu lagi setelah “penyempurnaan” materi naskah buku ini. Saya pun menyatakan kesiapan menyanggupi masukan bagus beliau. Tak lupa ucapan terima kasih saya buat beliau.

Dengan pertemuan langsung ini. Artinya perjalanan menulis buku ini sudah memasuki delapan puluh persen atau sembilan puluh persen. Tambahan sisanya sedikit itu akan melengkapi menyempurnakan naskah ini makin mantap. Semoga! Saya pun pamit kembali ke ruangan dengan hati gembira. Pertemuan yang singkat hanya setengah jam. Tapi memiliki nilai kualitas. Karena seorang guru besar mau menyempatkan diri bertemu saya, sementara beliau sendiri dalam kesibukan acara. Bahkan setelah acara malam itu besok pagi beliau kembali ke Yogya. Dan kemudian beberapa pekan ada acara ke luar. Jadi inilah saya katakan beliau orang ‘penting’ bukan saja bagi saya pribadi. Tetapi orang ‘penting’ bagi banyak orang lain. Buktinya dia dipinta mengisi acara ini itu di sejumlah kota besar di tanah air. Bahkan harus berangkat memenuhi undangan ke luar.

Semoga perjalanan saya ini penuh makna. Berguna bukan saja bagi diri sendiri. Tapi bisa bermanfaat kelak bagi orang lain. Karena Menulis adalah pekerjaan pencerahan. Menulis pekerjaan mulia bahkan menulis pun adalah rangkaian ibadah. Karena yang saya tulis menuju arah supaya pembaca menambah wawasan, termotivasi untuk lebih semangat memajukan sumber daya manusia umat dan bangsa ini.  













Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SILAHKAN ANDA BERKOMENTAR, NAMUN TETAP JAGA KESOPANAN DENGAN TIDAK MELAKUKAN KOMENTAR SPAM

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.