Dalam sebuah riwayat diceritakan terjadinya dialog antara para sahabat dengan Rasul saw. Sebagaimana diriwayatkan sahabat Abu Musa bahwa rasul saw bersabda: “Inna min waraaikum ayyaman yurfa’i fiHaa al-ilmu wayaksuru fiHaa al-Harj. Qolu, ya rasulallah ma al-Harj? Jawab beliau: Al-Qotlu”. Sesungguhnya diantara kalian akan menyaksikan hari-hari (suatu zaman) dimana di dalamnya diangkat ilmu, dan banyak di dalamnya al- Harj. Bertanya, ya Rasulallah apa itu al-Harj? Beliau menjawab: Pembunuhan, Peperangan. (Kitab Sunan At-Turmuzi Jilid II, hal. 331).
Bila memperhatikan ayat-ayat fundamental (5 ayat Al-Alaq) secara subtansi dijelaskan konsep Tuhan hakiki, Tuhan sebagai Khalik (Kreator Agung). Dengan karyanya seluruh jagat raya ini. Yang dalam ayat-ayat fundamental ini disebutkan salahsatu contoh maha karyaNya adalah al-insan (manusia). Manusia dikategorikan al-insan karena kedudukan utuh sebagi makhluk berdimensi material, tercipta dari al-alaq (sesuatu yang menggantung di dinding rahim ibu). Dan secara immaterial (spiritual) dikarunia-Nya ilmu. Manusia tanpa ilmu hakikatnya sama dengan binatang. Karena ilmu (dan iman) manusia terangkat derajatnya. Karena ilmu pula Adam (baca: manusia) diberi kedudukan sebagai khalifah fi al-ardh (wakil Tuhan sebagai pengelola kehidupan di muka bumi), (QS Al-Baqarah:31-34).
Perbedaan mendasar manusia (al-insan) dengan binatang adalah kapasitasnya dalam hal ilmu. Potensi sama’, basher dan al-af’idah adalah identik dengan akal-hati. Alat indra adalah instrumen bagi manusia sebagai makhluk berakal. Karena akal perkembangan ilmu manusia dinamis. Meski demikian nalar rasio (otak) adalah sebagaian dari akal, yang memiliki keterbatasan. Karenanya perlu panduan wahyu yang bisa dicerap oleh manusia yang menggunakan akal-hatinya. Bila manusia sudah kehilangan akal sehatnya maka karakternya tidak lebih dari binatang. Bahkan boleh jadi bisa lebih jahat dari binatang.
Maka kedudukan akal pantas dihargai oleh Islam sebagai alat penting dalam menjalankan kehidupan beragama (menjalankan dien, aturan Allah). Agama adalah bagi manusia yang berakal. Artinya dalam menjalankan agama (aturan Allah) manusia perlu menggunakan akal sehat. Meskipun bukan berarti segalanya harus diakali. Tetapi daya nalar akal harus selaras dengan ajaran wahyu (yang dicerap daya akal-hati), nalar otak dengan wahyu mungkin laksana patih dengan raja dalam kerajaan diri manusia. Keduanya bukan untuk dihadap-hadapkan, tetapi harus diselaraskan fungsinya. Sehingga akan menghasilkan kondisi diri manusia menjadi insan paripurna, utuh secara lahir-batin.
Tanpa panduan ilmu, manusia akan jatuh dalam kegelapan (Zulumat). Kegelapan perilaku jahiliyah, yang tidak berbeda dengan perilaku binatang. Karena ilmu adalah nur (cahaya) yang menembus ke dalaman hati manusia, sehingga bisa menerangi perilakunya menjadi manusia sejati (al-Insan) demikian pandangan Imam Ja’far Ashodiq, maka wajar jika para penimba dan pengamal ilmu (alim atau ulama) disebut warosatu al-anbiya (pewaris para nabi). Hidupnya laksana bintang gemintang berkilauan di langit yang indah menerangi umatnya. Kehilangan para alim atau ulama menjadi ancaman datangnya kegelapan zaman.
Amat pantas jika kemudian kehadiran para alim-ulama yang dirindukan umat adalah keniscayaan. Sebaliknya kehilangan mereka adalah ancaman datangnya kegelapan hidup umat. Alias ancaman munculnya perilaku zalim di kalangan umat. Sangat relevan jika di lain sabdanya nabi saw menyatakan:” Menimba ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim sejak lahir hingga jelang masuk kubur”.
Mungkin gambaran zaman diangkatnya ilmu, bukanlah secara fisik ilmu seperti uap air membumbung ke langit. Tetapi ilmu yang ada pada para alim-ulama terangkat (hilang) karena berguguran karena hilang bersama wafatnya mereka. Sehingga umat kehilangan panutan (teladan) dan panduan dalam wujud manusia-hidup. Umat manusia kehilangan langkah yang benar dalam menjalankan aturan Allah. Akibatnya perilakunya bagaikan pejalan yang tak memahami rambu-rambu jalan yang benar. Resiko masuk ke dalam jurang kebinasaan sangatlah besar. Yang di dalam ungkapan sabda nabi saw di atas disebutkan bisa mengakibatkan timbulnya bencana al-harj, perselisihan (pertengkaran) sosial, peperangan, pembunuhan dsb. Sungguh memprihatinkan bahkan mengerikan.
Karena transformasi ilmu dari alim-ulama kepada generasi selanjutnya adalah jalan penyelamatan kehidupan manusia. Dalam istilah lain setiap aktivitas hidup dalam menjalankan nilai-nilai ajaran Islam perlu adanya regenerasi atau proses kaderisasi. Majelis ilmu, halakah kajian adalah salahsatu kunci penting proses pemeliharaan ilmu. Tentunya sesuai kemampuan harus ditransformasikan (baca: diamalkan). Apakah itu dalam komunitas atau jamaah majelis ta’lim di masjid-masjid, di surau-surau, di madrasah atau sekolah. Atau bahkan pula di jalanan, di pasar dan dalam aktivitas sosial keseharian. Transformasi ilmu tanpa melihat batasan ruang dan waktu. Tanpa pula batasan jumlah jama’ah. Terlebih oleh organisasi yang menyatakan sebagai ormas atau ortom gerakan dakwah Islam. Alangkah naïf jika dalam kalangan aktivis ormas Islam atau angkatan muda Islam mengalami kelesuan ruh thalab ilmu. Bagaimana akan bisa mengamalkan ilmu, jika untuk belajar dan belajar saja menjadi malas melakukannya. Ataukah ini sebuah “kesombongan tersembunyi”? Karena merasa sudah pintar. Astaghfirullah.
Jika penyakit malas menimba ilmu apalagi mengamalkannya melanda mereka di atas, jangan terlalu menyalahkan umat jika dalam kehidupan muncul perilaku karakter manusia yang tidak menunjukan karakter al-insan. Tapi karakternya susah dibedakan dengan karakter binatang, berperilaku zalim (jahat). Apakah zaman yang diingatkan sang nabi suci saw telah atau sedang terjadi? Perlu jadi bahan permenungan kita. Layak kita beristighfar dan bertobat—kembali melakukan evaluasi diri segera kembali ke jalan yang benar. Ataukah ini pertanda dekatnya qiyamat (masa-masa kehancuran umat)? Sebagaimana disebutkan salahsatu tanda-tanda kehancuran (Qiyamat) bilamana di muka bumi muncul binatang melata (dzabbah). Boleh jadi dzabbah (binatang melata) dalam hal makna kiasan, munculnya manusia tapi berkarakter seperti dzabbah—hidup hanya mengikuti hawa nafsu; sehingga merebak kerusakan kehidupan sosial. Astagfirullah wa nau’uzubillah minzalik.
Wallahu’alam bishawab. Penelitian Pengembangan Sumber Daya Insani) Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SILAHKAN ANDA BERKOMENTAR, NAMUN TETAP JAGA KESOPANAN DENGAN TIDAK MELAKUKAN KOMENTAR SPAM
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.