Kamis, 09 Februari 2012

Kejujuran Khalifah


            Di masa kekhalifahan saudaranya Ali bin Abi Thalib kwh, Aqil tiba sebagai tamu di rumah beliau di Kufah. Ali memberi isarat kepada putera tertuanya, Hasan bin Ali, untuk menghadiahkan sepotong pakaian kepada pamannya tersebut. Imam Hasan menawarkan sepotong jubah dan mantel kepada pamannya dari miliknya pribadi. Malam pun tiba. Udara terasa hangat. Khalifah Ali dan Aqil duduk di teras gedung pemerintahan sambil asyik bercaka-cakap, hingga tiba waktunya untuk makan malam.
            Merasa dirinya sebagai tamu seorang khalifah, wajar jika Aqil membayangkan hidangan beraneka ragam tersaji di atas meja makan. Di luar dugaan, yang tersaji adalah hidangan yang sederhana dan biasa-biasa saja.
            Dengann terkejut ia berkata,” Makanan apa saja yang engkau miliki, apa hanya ini?”
            “Apakah ini bukan karunia Allah? Aku bersyukur sepenuh hati kepada Allah Yang Maha-kuasa atas pemberian-Nya ini,” jawab Ali.
            “Aku dalam keadaan terdesak dan harus segera menyeelsaikan masalahku,” Aqil lalu menceritakan keadaannya,” Aku terjerat hutang. Keluarkanlah perintah untuk memutihkan utangku secepat mungkin. Tolonglah saudaramu ini sebisanya, hingga aku tak lagi mengganggumu dan bisa pulang ke rumahku.”
            “Berapa banyak hutangmu?” tanya Ali.
“Seratus ribu dirham!” jawab saudaranya.
“Wah, seratus ribu dirham, banyak sekali!” Ali terkejut,” Mohon maaf, saudarakau! Aku tak mempunyai uang sebanyak itu untuk melunasi utangmu. Namun tunggulah hingga waktu pembayaran gaji. Aku akan memotong bagianku dan memberikannya kepadamu. Dengan demikian, aku tidak melanggar azas persaudaraan dan keadilan. Jika keluargaku tidak membutuhkan, tentunya aku akan memberimu seluruh pendapatanku.”
“Apa aku harus menunggu hingga saat gajian?” kini giliran saudaranya yang terkejut.
“Simpanan publik dan kasa negara berada dalam genggamanmu, tapi kau tetap memintaku untuk menunggu hingga saat pembayaran gaji. Selain itu, kau hanya memberikan yang menjadi bagianmu! Kau kan bisa menarik dana sebesar yang kau inginkan dari kas negara. Jadi, mengapa kau membuatku menunggu selama itu? Jadi, mengapa kau membuatku menunggu selama itu? Lagi pula, berapa sih jatahmu dari kas negara? Bahkan seandainya kau memberikan seluruh bagianmu, aku sangsi itu bisa membebaskanku sepenuhnya dari utangku,” lanjut Aqil.
Lalu Khalifah Ali menjawab,” Aku terkejut atas usulmu, terlepas tersedia atau tidaknya uang dalam kas negara. Itu bukanlah urusanku, namun kita berdua setara dengan saudara Muslim yang lain. Memang benar, kau saudaraku. Karenanya, aku harus membantumu dengan uang pribadiku semampunya, bukan dari uang masyarakat.”
Percakapan terus berlanjut. Aqil tetap mendesak agar Ali memberikan uang dlam jumlah cukup dari kas negara, sehingga ia bisa melunasi utangnya.
Sementara itu, lokasi mereka duduk mengarah ke pasar Kufah, dan kotak penyimpanan para saudara terlihat di sana. Karena Aqil terus mendesak, Ali akhirnya berkata,” Jika kau bersikeras agar aku menuruti permintaanmu, aku punya usul lain. Jika kau menerima usulku, kau bis amelunasi seluruh hutangmu, bahkan masih memiliki banyak kelebihan.”
“Apa yang bisa kulakukan?” Aqil ingin tahu.
“Di bawah sana terdapat kotak penyimpanan uang. Begitu pasar bubar dan tak seorang pun di sana, segeralah ke sana dan bongkar kotak tersebut. Ambil sebanyak yang kau inginkan,” Ali menjelaskan usulnya.
“Memangnya, punya siapa kotak-kotak itu?” tanya Aqil.
“Milik para saudagar pasar ini. Mereka menyimpanuangnya di situ,” jawab saudaranya.
“Aneh! Kau menyuruhku membongkar kotak milik orang lain dan mengambil hasil jerih payah orang-orang miskin tersebut, sementara mereka meninggalkan uang tersebut di sana dan pulang ke rumah dengan bertawakal kepada Allah?” Aqil bertanya.
“Lalu, mengapa kau menyuruhku membuka kotak kas negara untuk keperluanmu? Memangnya itu milik siapa? Itu juga milik orang-orang yang sedang terlelap di rumah mereka. Aku masih memiliki usul lain. Itu pun kalau kau berkenan,” kata Ali.
“Apa itu?” tanya Aqil.
“Jika kau setuju, ambillah pedangmu. Aku juga akan mengambil pedangku. Di kawasan elit Kufah, ada kota tua bernama Hirah, tempat para saudagar dan orang kaya tinggal. Kita akan pergi bersama ke sana dan dalam kegelapan malam kita menyerang mereka secara mendadak, lalu mengangkut hasil yang berlimpah,” Ali menawarkan usulnya.
“Saudaraku, aku datang ke sini bukan untuk merampok seperti yang kau usulkan. Aku bilang, instruksikan pegawaimu untuk memberikanku uang dari kasa negara yang berada dalam wewenangmu, sehingga aku bisa menghapus semua utangku,” demikain Aqil menolak usul itu.
“Bukannya lebih baik mencuri harta satu orang ketimbang jutaan Muslim yang artinya mencuri dari seluruh Muslim?” Ali balik bertanya.
Ia lalu melanjutkan,” Kau beranggapan bahwa mengambil milik dari seseorang dengan kekuatan pedang adalah suatu pencurian, lalu bagaimana dengan pengambilan milik dari orang-orang yang tak berdosa? Kau berpikir bahwa pencurian dilakukan hanya dengan menyerang seseorang lalu mengambil hartanya secara paksa. Padahal, jenis pencurian yang paling sederhana adalah seperti yang tadi kau usulkan. ***
(Disarikan dari The Best Chicken Soup, Murtadha Muthahhari)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SILAHKAN ANDA BERKOMENTAR, NAMUN TETAP JAGA KESOPANAN DENGAN TIDAK MELAKUKAN KOMENTAR SPAM

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.