Kamis, 09 Februari 2012

Kemerdekaan dan Spirit Ramadhan

Dalam hadits yang populer  nabi saw bersabda,” Innamaa bu’istu li-utammimaa makaarim al-akhlaaqi” (Sungguh aku diutus ke dunia ini untuk menyempurnakan akhlak manusia), (HR Bukhori-Muslim). Maka nabi Muhammad menyampaikan ajaran Islam targetnya untuk memperbaiki perilaku manusia yang waktu itu dikenal “Jahiliyah” (bodoh karena tidak memiliki jiwa atau karakter yang baik dan manusiawi). Perilaku sosial masyarakat Arab (Quraisy) ketika itu mencerminkan jiwa mereka yang kotor, buruk karena terbelenggu (terjajah) oleh hawa nafsu. Mereka cenderung menjadi budak hawa nafsu. Masyarakat Arab pun terkenal dengan zaman “perbudakan”. Kehidupan mereka diukur dengan standar materi (ekonomi). Demikian beratnya kondisi itu, sehingga salah satu misi nabi saw meminjam istilah Asghar Ali Engeneer membawa misi “Pembebasan”. Demikian bernilainya pembebasan seorang budak, sejumlah pelanggaran terhadap ajaran Islam ada sanksinya (diyat) berupa pembebasan budak. Bahkan di dalam Al-Qur’an sendiri diungkapkan upaya melakukan pembebasan (memerdekakan) budak bernilai pahala yang amat tinggi di hadapan Allah.
Kemerdekaan adalah hak asasi manusia. Kemerdekaan adalah hak segala bangsa, tanpa memperdulikan warna kulitnya bagaimana. Tentunya kemerdekaan ini pun tidak bermakna bebas semena-mena tanpa memperdulikan norma hidup sosial. Karena kemerdekaan dalam arti kebebasan seperti itu, justru akan menimbulkan sikap merendahkan manusia atau bangsa lainnya atas nama kebebasan. Perilaku sewenang-wenang, merendahkan martabat orang lain.
Memperbudak orang lain tidak akan pernah terjadi jika jiwanya sudah merdeka dari penjajahan hawa nafsu. Orang  memperbudak orang lain karena jiwanya memiliki ego yang tinggi untuk mengatur dan mengendalikan orang lain. Kebiasaan ini kemudian berkembang menjadi  budaya perbudakan sebagai salah satu produk masyarakat jahiliyah.
Puasa dan Pembebasan Diri
            Puasa hakikatnya memerdekakan diri dari  jajahan nafsu sendiri. Nafsu keserakahan terhadap materi disimbolkan makanan dan minuman, serta nafsu menguasai lawan jenis (nafsu syahwat). Nafsu-nafsu tercela itu merupakan nafsu hewani (bahimiyah) yang bila dituruti akan merusak tatanan kesehatan diri dan sosial. Memerdekakan diri dari jajahan hawa nafsu sendiri bukanlah pekerjaan ringan. Memerlukan kesungguhan yang hebat (jihad). Ini sebagaimana digambarkan dalam sabda nabi saw,”Kita baru pulang dari jihad kecil (Perang Badar) menuju jihad besar.” Para sahabat heran dan bertanya,” Apa itu ya Rasul?”, “kita memasuki perang melawan hawa nafsu.”
            Orang yang bisa menundukkan hawa nafsu dirinya niscaya akan mampu mengendalikan orang lain. Misalnya orang menzalimi orang lain sesungguhnya itu menunjukan dirinya kalah mengendalikan nafsu. Orang iri-dengki sesungguhnya menunjukan bahwa dirinya kalah oleh hawa nafsunya.  Orang berlaku serakah memakan harta hak orang lain, amanat rakyat, korupsi misalnya, itu karena dirinya kalah oleh hawa nafsunya.
            Alkisah suatu waktu seorang perempuan tengah membentak-bentak hamba sahayanya, padahal ketika itu bulan ramadhan. Nabi saw menyaksikan kejadian itu. Lalu nabi mengambil sepotong roti dan memberikan kepada perempuan itu seraya berkata,” Makanlah roti ini”. Perempuan itu terperangah kaget dan menjawab,”Wahai Nabi, aku sedang berpuasa, mana mungkin aku makan roti itu”. Dengan santun beliau bersabda,” Banyak orang berpuasa, tetapi hanya memperoleh lapar dan dahaganya saja.” Mereka hanya mendapatkan haus dan lapar karena dirinya tidak bisa mengendalikan jiwanya (nafsunya)”. Berpuasa hanya berhenti secara syari’at Fiqih, dari makan dan minuman yang membatalkan puasa. Sementara matanya, telinganya, mulutnya, anggota badannya, pikiran dan hatinya tidak dilibatkan berpuasa.
Jika demikian, kita jangan heran puluhan kali berpuasa seumur hidup tetapi perubahan hidup (sosial) tidak mengalami peningkatan kualitas amal. Sebab puasa tak lebih jadi budaya. Bukan dasar iman dan ilmu (perhitungan). Jika nabi bersabda,” Siapa yang puasa dengan dasar iman dan perhitungan (ilmu) niscaya diampuni dosa-dosa lalunya.” (Bukhori-Muslim). Pantaskah kita mengharap-harap ampunan-Nya?
            Saat Ramadan para Founding Father NKRI dan para pejuang bangsa ini, mereka berhasil pula memerdekaan bangsa dari Kolonial Belanda yang berabad-abad sudah bercokol, tepat pada Jum’at 10 Ramadhan, 17 Agustus 1945. Padahal secara fisik mereka hanya bersenjatakan “Bambu Runcing” sedangkan bangsa Penjajah sudah bersenjata mesin. Apakah “Bambu Runcing” itulah yang memiliki “kekuatan”? Sesungguhnya bukan “Bambu Runcing” yang lebih kuat dari senjata mesin, tetapi kekuatan spirit para pejuang bangsa inilah yang mendorong lahirnya kemerdekaan. Sehingga dengan rendah hati para pejuang bangsa ini berkata,”Atas berkat Rahmat Allah Tuhan yang Maha Esa”. Mereka menyadari adanya usaha perjuangan dan kehendak Yang Maha Kuasa. Rupanya kesadaran demikian muncul, karena para pejuang waktu itu yang mayoritas Muslim sedang menjalankan ibadah Puasa.
            Sejak merdeka, waktu sudah bergulir 66 tahun. Lebih 60 kali pula bangsa ini menjalani puasa. Sekarang kita pun sedang menjalaninya. Sejatinya kita sama-sama berintrospeksi diri. Apa yang sudah kita berikan untuk kemajuan umat dan bangsa tercinta ini? Sehingga cita-cita Founding Father kita, kakek-nenek kita, orang tua kita yang berpayah-payah mencapai kemerdekaan demi pewarisnya (anak-cucu, keturunannya) bisa diwujudkan. Ataukah sebaliknya, sadar atau tidak, malah kita merobek bendera kehormatan mereka karena ketidakberdayaan kita merawat warisan orang tua (kemerdekaan ini) dengan mental pengecut? Salahsatunya kita tidak mencintai Produk Bangsa Sendiri. Malu dengan hasil karya sendiri. Sebaliknya lebih punya gengsi dengan produk bangsa lain, padahal produk bangsa sendiri ada. Padahal salahsatu Founding Father kita, Bung Karno pernah menyatakan bangsa ini harus “Berdikari” (berdiri di atas kaki sendiri). Sebuah ungkapan yang mengisaratkan jiwa merdeka.
Semoga kita bisa menangkap spirit ramadhan dan kemerdekaan bangsa ini.

* Pemuda Muhammadiyah Jawa Barat (Sekbid Dakwah) & Majelis Pendidikan Kader PW Muhammadiyah Jawa Barat.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SILAHKAN ANDA BERKOMENTAR, NAMUN TETAP JAGA KESOPANAN DENGAN TIDAK MELAKUKAN KOMENTAR SPAM

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.