Kamis, 09 Februari 2012

Qurban dari Ritual ke Sosial


SRS*
Dalam Al-Qur’an kisah qurban identik dengan jejak keluarga nabi Ibrahim, yang kini diteruskan para pengikut ajaran tauhid dengan ibadah Qurban setiap bulan Zulhijah. Ibrahim, Siti Hajar dan Ismail adalah mereka yang terlibat langsung dalam proses ibadah qurban. Kesabaran mereka diuji, dimana lolos dan lulusnya ujian ini membuat kedudukan Ibrahim menjadi manusia yang taqarub (dekat) kepada Allah.
Selain keluarga Ibrahim, kisah qurban sebelumnya ada dalam kisah keluarga nabi Adam. Dua puteranya Habil dan Qabil melaksankan qorban dengan harta benda mereka demi mendekatkan diri dan menggapai rido Allah. Dimana kisah qurban dua anak Adam ini dalam proses meminta keridoan Allah untuk menentukan perempuan calon isterinya yang diperebutkan, Iqlima. Konon qurban Habil yang tulus berupa harta materi hasil peternakannya yang diterima Allah. Sementara qurban harta materi Qabil berupa hasil pertanian tertolak, karena tidak tulus.  Dan tragisnya kisah qurban ini berujung korban. Habil menjadi korban kekerasan sikap saudaranya, Qabil yang nafsunya kuat untuk memiliki yang bukan miliknya yakni Iqlima.
Dalam kisah anak Adam, ada hikmah pelajaran bahwa manusia dihingga nafsu ego memiliki hartabenda atau materi yang bukan hak miliknya. Ada jiwa rakus ingin merampas hak orang lain. Kedua anak Adam diuji sejauhmana mereka melaksanakan ibadah denagn tulus dengan memerdekakan diri dari jiwa-jiwa serakah atas kepemilikan hartabenda atau materi yangamat dicintainya, yang waktu itu dalam wujud perempuan cantik Iqlima.
Nah, dalam kisah keluarga Ibrahim pun sesungguhnya Ibrahim diuji untuk membebaskan dirinya dari nafsu egois manusia yang suka merasa hartabenda atau materi itu miliknya. Allah menguji keteguhan tauhid Ibrahim untuk mengorbankan hawa nafsu rasa memiliki atas hartabenda atau materi yang amat dicintainya. Waktu itu Ismail adalah anak semata wayang yang amat dicintainya. Anak tumpuan harapan penerus generasinya. Sungguh ujian hebat. Anak kesayangan, satu-satunya harus dikorbankan demi qurban (mendekatkan diri) kepada Allah. Manusia mana yang tidak akan merasa goncang jiwanya. Alhamdulilah, Ibrahim dan keluarganya lolos dan lulus dari ujian ini. Keluarga Ibrahim mencapai puncak kesadaran bahwa segala sesuatu (materi) adalah milik Allah, termasuk anak yang amat dicintainya. Ketulusannya yang sejati mengantarnya menjadi peribadi yang layak digelari Khalilullah (kekasih Allah). Jadilah Ibrahim hamba yang taqarub (dekat) dengan Allah.
Sementara pengorbanan anaknya, diganti dengan hewan ternak (domba). Ibadah qurban Ibrahim kini diteruskan para penganut ajaran tauhid setiap bulan Zulhijah (bulan yang berbarengan dengan ibadah haji).

Qurban dengan Hewan Ternak
Ada pertanyaan menggelitik, kenapa qurban mesti dengan hewan ternak? Pada dasarnya qurban adalah latihan pengorbanan diri untuk mengikis jiwa-jiwa hewan dalam diri kita. Bukankah dalam diri setiap manusia ada karakter atau sifat hewan.
Anjing memiliki sifat suka menggonggong tapi kemudian diam karena diberi tulang (makanan). Babi biasa hidup berkubang di tempat kotor dan bergerak sebatas yang dilihat, tak memperdulikan sekelilingnya. Monyet, sifatnya rewel dan bila melihat makanan biasanya rakus. Sedangkan hewan ternak (sapi, domba, kambing, unta) bersifat penurut. Kemanapun dibawa mengikuti meskipun misalnya dibawa ke tepi jurang.
Qurban melatih kita untuk membebaskan diri dari sifat-sifat hewan seperti di atas. Jangan berperilaku :Pertama, manusia-anjing yang pandai “menggonggong” (mengomentari) orang lain hanya dengan motivasi untuk memenuhi isi perutnya. Kedua, manusia-babi yang suka berdiam dalam tempat yang kotor (perbuatan dosa) dan tak mau diberi nasehat orang lain. Bersikap membabi-buta. Ketiga, manusia-monyet, yang mulutnya recok dan rakus memperebutkan isi perutnya. Keempat, manusia-ternak yang suka manut menurut taqlid-buta tanpa menggunakan kecerdikan akal sehatnya, sehingga bisa terbawa arus pada hal yang bisa mencelakakannya.
Diantara hewan tersebut diatas, dalam ibadah qurban ternyata hewan ternak yang dipilih dijadikan hewan qurban. Kenapa? Karena hewan ternak selain penurut—memang dagingnya layak dikonsumsi manusia. Qurban yang intinya ketaqwaannya untuk mendekatkan diri pada Allah, bukan dagingnya atau darahnya yang sampai dari yang melaksanakan qurban. Adapun daging ternak qurban itu bisa ditebarkan untuk dikonsumsi orang lain. Ini menunjukan bahwa qurban itu bukan sekedar ibadah ritual. Tapi berdimensi sosial. Artinya untuk mendekatkan diri (taqarub) kepada Allah kita dituntut untuk menjadi manusia yang peduli terhadap sesama manusia lainnya. Tidak hidup dengan jiwa egois dan mementingkan diri sendiri. Terutama dalam urusan kebutuhan primer dalam hidup, yakni isi perut.
Soal isi perut (makanan) dan kepedulian sosial, lagi-lagi penulis ingat kisah Ibrahim yang  popular dengan kebiasaannya untuk mengundang makan bersama (berjama’ah). Konon beliau tidak mau makan bila tidak berjama’ah. Luar biasa. Dan ini pula menjadi kebiasaan sang nabi saw. Sepertinya sederhana dan sepele. Padahal ini perbuatan mendasar menyangkut urusan pokok hidup orang lain. Kepedulian memperhatikan kebutuhan primer orang lain adalah sunah nabi Muhammad dan tradisi Ibrahim.
Bagaimana dengan kita? Alih-laih pandai berqurban diri untuk kepentingan orang lain. Alih-alih pandai mengabaikan ego nafsu kepada materi. Yang terjadi jangan-jangan keserakahan diri untuk hidup egois dan ingin memiliki kekayaan materi secara rakus. Bahkan tidak jarang harta benda (materi) hak milik orang lain pun dikuasainya sendiri. Perilaku bohong, manipulasi, kolusi,  rekayasa, atau korupsi adalah gejala manusia yang hidupnya egois dan serakah pada harta benda (materi). Sudahkah kita bisa menebarkan sikap qurban untuk sesama? Sehingga qurban bukan berhenti setahun sekali. Tapi esensinya bisa dijalani setiap hari. Marilah berdialog dengan diri sendiri. Wallahu’alam. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SILAHKAN ANDA BERKOMENTAR, NAMUN TETAP JAGA KESOPANAN DENGAN TIDAK MELAKUKAN KOMENTAR SPAM

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.