Kamis, 09 Februari 2012

Pesan Prubahan Sosial dan Cinta Lingkungan: dalam syair Lagu Franky Sahilatua & Jane

 

Meskipun kau tak pernah ke desa
Padi-padi terus tumbuh
Meskipun kau tak pernah ke kota
Orang-orang terus gelisah

Di desa di kota tumbuh  dan gelisah
 Seperti kembang dalam belukar
Seperti mata air kehilangan sungai.

Desa dimiliki oleh orang kota
Kota dimiliki orang desa
Petani mencari kerja di kota
Orang kota mencari kekayaan di desa

Apalagikah yang tersisa  bagi kau  dan aku?

Di desa di kota tumbuh  dan gelisah
Seperti kembang dalam belukar
Seperti mata air kehilangan sungai.


ITULAH syair lagu berjudul ”Seperti sungai kehilangan air”  karya Franky Sahilatua yang dinyanyikan duet dengan Jane. Menggambarkan pesan perubahan sosial dari masyarakat desa (baca: tradisional bercorak agraris) menjadi masyarakat kota (baca: industri). Perubahan sosial digambarkan dengan munculnya kegelisahan jiwa dari masyarakat desa yang mengalami pergeseran nilai.
Uniknya masyarakat yang sudah melampaui (mengalami) kondisi sosial corak kota ternyata juga mengalami kegelisahan jiwa. Padahal kehidupan ala kota itu yang dirindukan masyarakat desa yang sedang ingin berubah. Laksana sungai kehilangan sumbernya (air).
Ini syair seolah mewakili potret jiwa yang sedang resah gelisah karena dampak negatip kemajuan modern (baca: masyarakat industri). Sekaligus menunjukan kesadaran jiwa manusia yang cinta dan peduli terhadap nasib lingkungan hidup. Yang mana sekarang ini sedang menerpa negeri zambrut khatulistiwa.

Nusantara: Potret Zambrut di Khatulistiwa
            Hamka. Salahseorang tokoh yang menyatakan bahwa negeri kita laksana ”zambrut di khatulistiwa”. Ungkapannya tidak salah. Zambrut adalah permata, yang biasanya dibanggakan pecinta perhiasan (wanita). Jika bola dunia diilustrasikan sebagai tubuh kaum wanita nan elok, sepertinya tak berlebihan. Kesuburan tubuhnya dilengkapi dengan keadaan nan indah bagi siapapun yang pernah bisa melihatnya. Permata keindahan dunia ini, ya bumi nusantara yang melingkari leher bumi (baca: khatulistiwa). Sehingga konon sampai ada sastrawan yang menuliskan ”Tuhan tersenyum ketika menciptakan tanah Priangan” . Sebuah ungkapan yang terkesan hiperbola. Tapi itulah ungkapan betapa indah dan suburnya negeri nusantara ini.
Seperempat lingkaran bumi ini adalah panjang nusantara. Sehingga negeri ini mengalami tiga waktu berbeda (WIB, WITENG, WIT). Posisinya pun sangat strategis secara geografis. Meskipun tak sedahsyat posisi strategis ”Timur Tengah” secara Geo-historis dan  geo-politis. Tapi secara geografis negeri zambrut khatulistiwa ini memang sangat strategis bagi perkembangan lingkungan hidup dan ekosistem dunia. Garis pantai negeri ini termasuk terpanjang di dunia. Barisan gunung berapi yang memberi kesuburan tanahnya pun berada di sini. Kekayaan sumber daya bahari (laut) nya di sini. Sumber daya energi yang tak bisa diperbaharui (tambang) dan energi yang bisa diperbaharui (baca: organik atau daya hayati) melimpah pula di sini.
Barulah penulis memahami akan materi pelajaran ”wawasan nusantara”. Yang tempo dulu-- ketika penulis kecil berada di kelas sekolah dasar--pernah kami terima sebagai hapalan saja.  Negeri ini terkenal dengan sebutan negeri yang ada dalam posisi silang dunia, antara dua samudera Hindia dan Pasifik dan dua benua Asia dan Australia.
Namun apakah hari ini pelajaran ”wawasan nusantara” masih diberikan di sekolah? Atau kalaupun diberikan masih sama sebatas bahan hafalan di otak-otak siswa didik? Penulis tidak tahu.  Sepertinya materi wawasan nusantara masih relevan. Bahkan menjadi urgen untuk diberikan dengan metode yang lebih mendorong kesadaran kritis anak didik. Sehingga setelag dikaji bisa mendorong munculnya pemahaman mereka dan melahirkan kesadaran pada pentingnya mensyukuri potensi alam ini. Tentunya kelak mereka dewasa dan menjadi pemimpin bangsa bisa memberdayakan potensi alam ini dengan arif-bijaksana. Tidak sekedar melakukan eksplotasi serampangan atas nama ”pembangunan”. Tetapi ujung-ujungnya memuaskan nafsu mengeruk kekayaan materil sendiri dengan melupakan nasib anak-cucu bangsa ini di masa depannya. Seperti kebanyakan oknum para pemegang kekuasaan ataupun pengusaha yang pandangannya hanya berkutat pada persoalan keuntungan material an sich. Sehingga mengakibatkan kerusakan sumber daya alam yang merupakan  amanat Ilahi ini.


Budaya Eksplotatif dan Pemimpin Bangsa
Memprihatinkan memang. Potensi sumber daya manusia yang melimpah (terbesar keempat) di dunia, secara kuantitatif tenyata belum bisa diimbangi potensi SDM secara kualitatif. Buktinya kerusakan lingkungan alam, ekosistem makhluk hayati di dalamnya tak terelakan. Kesadaran pentingnya mensyukuri amanat Tuhan dengan mengolahnya secara adil dan bijaksana sehingga menjaga keseimbangan eksistem masih sangat minim. Budaya hidup eksploitatif cenderung besar dalam masyarakat kita. Pembabatan hutan serampangan. Pencurian hasil bumi alam (hutan) dll menjadi kebiasaan masyarakat kita.
Budaya melestarikan keseimbangan lingkungan alami sangat minim. Budaya eksplotatif ini pun tampak jelas kelihatan pada sikap mental oknum para pemegang kebijakan yang eksplotatif. Baik terhadap kekayaan alam organik (baca: hutan, pertanian, atau pun kelautan) ataupun eksplorasi kekayaan tambang dan energi.
Sikap demikian menunjukan sikap mental manusia yang kurang (tidak) pandai mensyukuri nikmat anugerah ilahi. Meskipun tidak berhubungan langsung, rasa-rasanya patut jadi bahan renungan. Jangan-jangan  dampak negatip dari sikap mental tersebut mengakibatkan perilaku yang serampangan dalam melakukan eksploitasi terhadap alam. Sehingga alam pun jadi tidak ramah lagi pada kita. Terjadilah banjir, longsor dan lain-lain kejadian alam yang tidak cukup kita anggap sebagai kesalahan alam. Boleh jadi sikap kita yang salah dalam memperlakukan alam.
Sehingga itu jadi  bukti-bukti kurang atau tidak sempurnanya sikap syukuran kita. Memprihatinkan lagi karena catatan statistika bangsa penghuni negeri ini adalah mayoritas Muslim. Yang mana dalam sumber ajarannya jelas mengamanatkan bahwa pengelolaan sumber daya alam secara bijaksana adalah kewajiban dan sekaligus indikator sebagai manusia beriman. Ataukah ini indikator keimanan kita masih rapuh. Sepertinya kita masih berpola pikir parsial atau sekuler. Dengan ”tanpa sadar” seolah beranggapan bahwa membiarkan kerusakan alam atau eksosistem yang subur dan indah ini bukan sebagai dosa besar. Ataukah memelihara keseimbangan eksistem dan lingkungan yang ramah, indah, dan kaya sumber daya alam ini seolah bukan rangkaian ibadah? Cara pandang demikian adalah sikap mental yang tidak mencerminkan sikap orang yang tak bersyukur. Alias kufur nikmat. Wallahu a’lam.
Yang pasti kita mesti melakukan evaluasi diri dan mengkritisi diri, sudah sejauhmana keimanan kita dalam menjalankan dan memelihara amanat tanah air ini? Dalam hal ini para pemuka masyarakat, pimpinan ormas keagamaan apapun namanya, tentunya dituntut untuk ”mendidik” kader-kadernya untuk menyadari persoalan penting ini.
Selain itu kita pun punya harapan hadir pemimpin bangsa yang salahsatunya punya visi  misi dan mental untuk memajukan negeri ini dengan memihak rakyat banyak dengan kebijakan yang peduli pada lingkungan. Kita tak berharap para pemimpin bangsa, yang alih-alih memelihara kelestarian lingkungan, tapi justru yang ada mengeluarkan kebijakan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan. Yang diilustrasikan sebagai orang pembuat kerusakan (mufsidun), tetapi merasa dirinya sebagai pembuat amal saleh (muslihun). Merasa dirinya sedang membangun, padahal sedang melakukan kerusakan atas alam lingkungan. Karena karakter demikian adalah perilaku eko-teroris –teroris lingkungan (Abdurahman, 2007).
***
            Masih 12 Zulhijjah 1431 H [29 Dec 09]
Bung Syaf (Sastra Annafie Assuja)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SILAHKAN ANDA BERKOMENTAR, NAMUN TETAP JAGA KESOPANAN DENGAN TIDAK MELAKUKAN KOMENTAR SPAM

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.