Kamis, 09 Februari 2012

Pendidikan Karakter dalam Shalat


S.Rahmat Selamet*

“Saya ingat betul pak, waktu itu hujan sangat deras. Saya menduga bu Muslimah tak akan datang mengajar ke sekolah kami. Ternyata, beliau datang dengan lindungan pelepah daun pisang. Sejak itu saya berjanji, dewasa nanti saya akan menceritakan kisah ini kepada semua orang. Saya akan menuliskannya dalam sebuah buku.” (Curhat Andrea Hirata dihadapan Presiden SBY dan Ibu Ani)
            Guru sederhana di kampung nan jauh di Belitong, dengan kondisi sekolah yang mengenaskan. Murid yang pas-pasan, dan terancam dibubarkan. Tetapi memiliki karakter yang  kuat, salah satunya digambarkan Andrea Hirata di atas. Telah menjadi motivasi salahsatu muridnya (Andrea Hirata) menjadi murid yang gigih belajar dan kemudian membuktikan ucapannya di atas, sehingga menjadi karya yang berkualitas dalam menggugah kesadaran pentingnya karakter pendidik dalam dunia pendidikan. Bahkan karakter pendidik dalam kehidupan ini.
Pentingnya Pendidikan Karakter     
Character Building. Tokoh bangsa yang aktip menggemborkan Pembangunan Karakter Bangsa adalah Bung Karno. Sebagai salah satu tokoh kunci The Founding Father Republik ini, beliau jelas menyadari bahwa kelahiran bangsa Indonesia ini dalam sebuah konsep kebangsaan modern memang baru. Tonggak Persatuan Indonesia dengan Kebhineka Tunggal Ika-annya ini tercetus dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Dengan demikian usia bangsa Indonesia ini masih relatip muda. Meskipun demikian modal dasar bahan kebangunan bangsa ini memang jauh sudah ada, sebagai bangsa nusantara yang beraneka ragam suku bangsa. Tetapi sebelum lahir Sumpah Pemuda 1928, bangsa ini baru menyadari berbhineka, tetapi belum menyadari sebagai Tunggal Ika.
            Membangun Karakter Bangsa, yang diserukan Bung Karno, sesungguhnya menunjukan kalau Bapak Bangsa ini memang menyadari arti pentingnya pilar bangsa yakni Pendidikan Berkarakter. Meskipun demikian Pendidikan Berkarakter ini dalam prakteknya lebih ditekankan untuk dibangun secara kultural, praktis alias dengan keteladanan para pemimpinnya. Karena itu bisa dipahami jika kementrian yang mengurus pendidikan itu bernama Departemen Pengajaran dan Kebudayaan. Artinya secara formal yang bisa dilakukan adalah Pengajaran. Sementara pendidikan itu harus terpadu dan menyatu dengan perilaku serta keteladanan pemimpinnya.
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.  (Pasal 3 UU Sidiknas)
Pendidikan karakter adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana serta proses pemberdayaan potensi dan pembudayaan peserta didik guna membangun karakter pribadi dan/atau kelompok yang unik-baik sebagai warga negara  (Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa tahun 2011-2025)
Definisi karakter, Character (bahasa Yunani) yang bermakna mengukir. Mengukir adalah pekerjaan yang membutuhkan kecermatan, ketelatenan, keuletan, kesabaran. Sehingga bisa menghasilkan karya (ukiran) yang indah dan bernilai cita rasa seni tinggi.
Pendidikan berkarakter, pendidikan yang membutuhkan ketelatenan, keuletan, kesabaran dalam membentuk anak didik, yaitu anak didik yang berbudi pekerti baik, berperilaku indah, lembut penuh sopan santun, tetapi tegas punya prinsip. Karena pendidikan karakter tidak bisa dibentuk serta merta, semisal dengan pola kursus singkat atau pelatihan beberapa hari. Karena pembentukan karakter, perlu latihan kebiasaan hidup yang terus diulang-ulang, dibiasakan, sehingga menjadi sifat dan watak bagi anak yang diharapkan.
Memperhatikan konsep pendidikan nasional, tak diragukan lagi, sungguh teramat bagus dan sempurna. Sesungguhnya karakter tersebut merupakan cermin sifat bangsa yang sudah ada sejak dulu dan terangkum dalam konsep dasar kebangsaan (Pancasila). Yang dibutuhkan sekarang adalah mewujudkan pendidikan karakter tersebut dalam kehidupan. Diharapkan anak bangsa sebagai calon pemimpin masa depan bisa terbentuk menjadi anak bangsa yang berkarakter. Sehingga bangsa kita pun di masa depan akan menjadi bangsa yang unggul dalam kompetisi global.
Kisah nyata pengalaman hidup Andrea Hirata di atas, adalah bukti kuat. Bahwa pendidikan berkarakter itu tidak didapatkan dalam keindahan kata-kata atau teori semata. Justru kekuatan karakter itu hadir dalam wujud pendidikan yang bersifat keteladanan praktis.
Ini mengingatkan kita pada sosok nabi Muhammad saw, yang diakui sebagai tokoh nomor 1 dalam 100 Tokoh Berpengaruh di dunia oleh Michael Hart. Karakter yang ditunjukan oleh sikap keteladanan beliau yang membekas kepada para murid (sahabat)nya bahkan kepada lawan yang memusuhinya sekalipun.
Bagaimana tidak, Surakah yang mengejar-ngejar beliau harus terjatuh dan terjatuh dari kudanya, demi untuk membunuhnya. Tetapi justru beliau yang menolong mengangkat kudanya yang terperosok. Kejadian berulang-ulang sehingga Surakah kapok dan berhenti.
Begitupun Dat’sur yang membuntuti beliau dan mengintip beliau untuk menghabisi nyawanya di bawah pohon kurma, dibuatnya takluk. Padahal sabetan pedang sudah melayang dengan gertakan,” Siapakah sekarang yang akan menyelamatkanmu Muhammad?!” yang disambutnya dengan jawaban,” Allah!” seketika tangannya gemetar dan jatuh pedangnya. Diambilnya oleh beliau dan berbalik tanya,”Sekarang siapa yang akan menyelematkanmu?!” Lalu dijawabnya dengan ketakutan,” Engkau wahai Muhammad.” Dan beliau pun memaafkan musuhnya tersebut.
 Dari kisah Andrea Hirata, terlebih kisah nabi saw, jelas tampak bahwa kekuatan karakter sehingga bisa mempengaruhi perilaku orang itu tidak dalam kata-kata atau retorika. Tetapi kekuatan karakter hadir mengiringi perbuatan alias keteladanan perilaku.

Shalat dan Pembentukan Karakter
            “Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat!” (Al Hadits. Bila merujuk kepada Al –Qur’an,” sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar”. (QS. Al Ankabut:...).
Ini mengisaratkan bahwa shalat bisa merubah perilaku tidak baik menjadi baik. Shalat itu bisa mendidik diri menjadi manusia berkarakter baik. Shalat itu bisa memperbaiki akhlak (budi pekerti). Sebagaimana fungsi risalah nabi saw,”Sesungguhnya aku diutus ke dunia ini untuk memperbaiki/menyempurnakan akhlak manusia”.
Pantas jika disebutkan bahwa amal yang pertama dijadikan standar perhitungan baik buruk manusia di hadapan Allah kelak adalah Shalat. Siapa yang shalatnya baik (sempurna) maka pasti baik pula amal perbuatan (perilaku) lainnya, jika rusak shalatnya maka rusak pula amal perbuatan lainnya.
Lalu shalat yang seperti apa yang berkualitas sehingga memunculkan karakter baik tersebut di atas. Tak lain adalah shalat yang didasari kesadaran pada makna dan fungsi shalat itu sendiri. Shalat yang disadari sebagai wasilah, hubungan komunikasi seorang hamba/manusia dengan sang penciptanya (Allah). Shalat yang Menunjukan adanya rasa tanggungjawab dan syukur terhadap yang menciptakan. Hakikatnya shalat itu bukan untuk sang pencipta, karena Tuhan Maha memiliki segalanya, maha Kaya. Dia tidak butuh dengan shalat kita, tetapi sesungguhnya yang butuh adalah diri kita sendiri. Manusia lah yang butuh shalat. Karena itu shalat dalam sehari semalam minimal dilakukan 5 kali. Ini melatih kebiasaan. Mengatur waktu, disiplin. Dan juga mengatur tempo irama aktivitas kehidupan. Sehingga terjadi keseimbangan antara daya pikir, zikir, dan pola hidup bersosial.
Shalat yang didasari kesadaran demikian akan memunculkan karakter antara lain: (1) tawadhu (rendah hati), karena menyadari bahwa dirinya yang lemah serba butuh kepada sang pencipta. Bukan sekedar kewajiban tapi sudah jadi kebutuhan.
(2) menghapus sikap sombong. Dengan lantunan Allahu Akbar (takbir) itu melatih jiwa supaya mengakui bahwa tak ada kesombongan diantara sesama manusia (makhluk), karena yang patut sombong hanya pencipta yang maha agung.
(3) disiplin, dalam manajemen waktu.
(4)  sehat lahir (bersih) dan batin, menghapus niat jahat/hasud pada sesama.
(5) sikap hidup hati-hati terhadap orang lain, merasa diri ditatap terus oleh Allah
(6) ucapan pun terjaga sehingga tak menyakiti hati orang, karena yakin bisikan hati pun didengar Allah.
(7) introspeksi, mengakui kelemahan diri dihadapan Allah. Sehingga mengagungkan-Nya tanpa merasa diri angkuh.
(8) ada sugesti dan affirmasi. Melatih diri kuat dalam pikiran dan jiwa.

*penulis Ketua Divisi Publikasi/Penerbitan Majelis Pendidikan Kader Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jabar & Wakil Sekretaris Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah Jabar (Bidang Dakwah & Kajian Agama).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SILAHKAN ANDA BERKOMENTAR, NAMUN TETAP JAGA KESOPANAN DENGAN TIDAK MELAKUKAN KOMENTAR SPAM

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.