Kamis, 09 Februari 2012

Sastrawan-Ulama dan Kelembutan Budi

S.Rahmat Selamet*
 
Tiga puluh tahun lalu, tepat 24 Juli 1981. Wafat seorang ulama dan sastrawan besar bangsa ini. Seorang sastrawan penulis buku yang kini dijadikan film,” Di Bawah Lindungan Ka’bah”. Seorang sastrawan yang menilik judul novel-nya menyiratkan meresapnya jiwa religius pada dirinya. Padahal ketika menulis karya tersebut beliau belum dikenal sebagai ulama, karena masih pemuda usia belasan.
Menilik karya sastranya, kita bisa merasakan kelembutan tutur bahasa anak Minang ini. Menyiratkan pula kehalusan budi pekertinya. Meskipun demikian akan terasa nilai ketegasan dalam memegang prinsip. Hal ini menandakan dalam pribadi Hamka kita bisa menemukan penampilan wajah ajaran Islam yang teguh tetapi disajikan dengan kesantunan serta kehalusan budi pekerti. Tidak mentang-mentang merasa memegang kebenaran, lalu muncul ego dan arogansi. Terlebih bersikap anarkis, amat jauh.
Kejiwabesaran ulama-sastrawan ini tampak jelas, ketika Founding Father kita Bung Karno wafat, beliaulah yang menjadi Imam shalat jenazahnya. Padahal beberapa tahun sebelumnya Hamka, pernah mendekam dalam tahanan karena fitnahan semasa rezim pemerintahan Bung Karno. Itulah sosok ulama yang berjiwa besar dan berbudi halus. Tiada kebencian dan dendam.
Kita bisa mengambil pelajaran dari mereka. Bahwa perbedaan pandangan dalam memperjuangkan umat dan bangsa ini, tidaklah lantas dibawanya ke dalam rasa kebencian atau dendam. Karena sebagai para pemuka bangsa, menyadari bahwa agama dan falsafah hidup berbangsa ini tidak pernah mengajarkan sikap demikian.
Jiwa besar dan halus budi pekerti, yang kini terasa mulai tergerus dalam karakter anak bangsa ini, ada dalam diri beliau. Pantas, karena sejak kecil meskipun sebagai anak manusia pernah nakal (nakalnya anak-anak), Hamka ada dalam pembinaan lingkungan keluarga yang tegas dalam menjalankan akhlak mulia. Ayahnya, Haji Rasul, adalah ulama yang disegani di zamannya. Situasi sosial perubahan kaum adat dan rasional dalam umat Islam telah membuatnya menjadi manusia yang kritis tapi tetap santun. Sehingga kelak setelah dewasa orang mengenalnya sebagai ulama yang lembut dan santun.
Hamka, merupakan sosok sastrawan yang lahir dari kerja keras dan kreativitas. Dia lahir dari bentukan “alam” alias autodidak. Dia menjadi penulis, sastrawan dan aktip dalam dunia penulisan karena kegigihan jiwanya. Menulis sudah menjadi panggilan jiwanya. Bahkan dia sempat menyatakan bahwa “Menulis adalah ibadah”. Ungkapannya memberi isyarat bahwa ibadah itu tidak bermakna sempit sebagai ritual saja contohnya: shalat, puasa, zakat, haji dll. Tetapi setiap gerak-gerik aktivitas kita selama diniatkan mencari rida Allah dan bernilai manfaat bagi kehidupan adalah ibadah. Yakni pengabdian terhadap Allah melalui hidup bermanfaat bagi kehidupan orang lain.
Karya besar seperti novel-novel religi yang dihasilkan Hamka, diantara lebih seratus buku karyanya, adalah contoh betapa jiwa kreativitas, ketekunan dan kemandirian seorang anak manusia tidaklah mesti diukur dari pendidikan formalnya. Hamka, contohnya. Seorang anak yang hanya mengenal pendidikan sekolah rakyat dan ngaji di surau. Tetapi kemudian naik mensejajarkan dirinya dengan para intelek dan sastrawan besar lainnya. Bahkan kelak gelar yang biasa disandang para akademisi diraihnya karena karya besarnya, sebagai DR Honoris Causa dari Universitas Al Azhar (tertua dalam dunia Islam) dan dari Universitas Kebangsaan Malaya.
Kreativititas kata kuncinya. Kreativitas ini hanya bisa dimiliki bagi mereka yang berjiwa sabar. Tanpa jiwa yang sabar mustahil karya kreatif. Karena karya kreatif itu bisa muncul dari ketekunan jiwa, dan ini karakter manusia sabar. Dalam khazanah Islam, umat Muhammad dituntut untuk meminta tolong kepada Allah dengan metode sabar dan shalat. Sabar adalah bergerak aktip, bukan pasip, demikian meminjam istilah Ali Syari’ati. Tentu saja dalam sisi lain latihan kesabaran ini bagi umat Islam selalu diajarkan, setidaknya setahun sekali. Ramadan dan puasanya adalah media pelatihan jiwa dan raga, dalam membentuk manusia sabar, disiplin, tekun dan kreatif. Kedatangan bulan ramadan dengan puasa di siang hari dan “menghidupkan malam” dengan tarawih, tadarus, munajat do’a adalah bentuk pelatihan disiplin sabar bagi jiwa dan raga. Sehingga akan janggal jika kemudian memasuki bulan ramadan aktivitas dan produktivitas amal umat Islam malah menurun. Jika demikian, mungkin masih ada cara pandang yang salah dalam diri kita terhadap makna puasa dan ramadan.
Tos heula ah, kabujeng rieut deui kepalana.

* Penikmat Karya-karya Sastra, Guru di Kampus Perguruan Muhammadiyah Bandung, Pimpinan Majelis Pendidikan Kader Muhammadiyah Jawa Barat (Bidang Publikasi) & Pemuda Muhammadiyah Jawa Barat (Sekbid.Dakwah & Kajian)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SILAHKAN ANDA BERKOMENTAR, NAMUN TETAP JAGA KESOPANAN DENGAN TIDAK MELAKUKAN KOMENTAR SPAM

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.