Kamis, 09 Februari 2012

Ramadan, Gempa dan Solidaritas Sosial

S.Rahmat Selamet*)
BANYAK orang yang melaksanakan puasa, tetapi hanya mendapatkan rasa haus dan lapar saja. Demikian sabda nabi saw. Karena puasa hanya dimaknai ibadah yang berdimensi ritual. Padahal sesungguhnya dengan puasa harus mencapai dimensi sosial. Yaitu kepekaan diri untuk saling berbagi dengan sesama. Mungkin kita hanya merasakan haus dan lapar, hanya sejak terbit fajar hingga terbenam matahari. Tapi masih banyak saudara-saudara kita yang merasakan haus dan laparnya sepanjang siang dan malam. Dan bukan satu hari, bukan sebulan, tapi mereka merasakannya hampir sepanjang hari dalam putaran waktu hidupnya. Dengan demikian puasa melatih diri untuk menumbuhkan sikap solidaritas sosial sesama manusia. Dengan puasa kita dilatih untuk peduli kepada fakir miskin dan orang-orang yang serba kesusahan. Karena kehilangan kepekaan sosial terhadap fakir miskin, selain pada anak yatim, akan membawa kita pada posisi sebagai kaum pendusta agama (Yukazibu biddin), (QS al-Ma’un:1-5).
Fenomena kemiskinan sangat jelas di hadapan kita. Di negeri yang mayoritas beragama Islam. Menarik direnungi, Islam mengajarkan pembebasan umat dari belenggu kemiskinan. Solusi atas persoalan social, kemiskinan, diantaranya dengan menjalankan fungsi zakat dan sadaqah. Puasa Ramadan, diujung akhirnya ditutup dengan zakat fitrah. Menunjukan bahwa puasa mendidik orang yang beriman untuk membersihkan diri, menahan diri dari keserakahan terhadap duniawi (ego individualis) supaya jadi manusia berwatak sosial---tanpa mengorbankan dirinya sendiri. Namun pantas direnungi, sebulan kita puasa lamanya dengan berulang-ulang puluhan kali  kita jalankan. Tetapi gerakan pemberdayaan untuk menurunkan fenomena kemiskinan seakan tidak ada hubungan korelasi dengan puasa. Padahal puasa melatih untuk memunculkan jiwa-jiwa yang peka terhadap fenomena sosial umat. Dimana letak kesalahannya? Jangan-jangan inilah puasa kita tidak bernilai. Sebab puasa hanya dimaknai sebagai dimensi ritual saja.
Entah kebetulan, atau bukan. Hari kedua belas bulan Ramadan, penduduk Jawa Barat—khususnya Priangan—mengalami musibah gempa bumi dengan kekuatan 7,3 SR. Yang berdampak menimbulkan korban nyawa, rusaknya rumah dan fasilitas umum serta fasilitas pendidikan. Terutama di daerah-selatan Jawa Barat.
Ada apa dibalik semua ini? Ditinjau dari aspek ilmiah, gempa bumi wajar banyak terjadi di tanah air. Karena bentangan geografis kita berada dalam cincin-api dunia. Pertemuan barisan titik api pegunungan dunia, sabuk Mediterania dan sabuk Pasifik. Juga pertemuan dua lempeng benua Austro-Asia dengan Lempeng Eropa- Asia. Diantara benua Asia dengan Australia, antara Samudera Hindia dengan samudra  Pasifik.  Dampak geostrategic ini, negeri kita kaya dengan sumber daya alam nabati dan hewani. Serta subur kondisi alamnya. Namun di balik keelokannya ini tersimpan potensi  bahaya (bencana alam) yang harus disikapi dengan cerdas.
Di tengah latihan merasakan kesusahan, penderitaan kaum  miskin tepatnya di hari ke-12. Tiada terduga bumi bergoncang beberapa menit. Meluluhlantakan banyak tempat tinggal atau sekolahan. Bahkan menimbulkan korban nyawa. Dengan gempa ini, ribuan orang yang biasa hidup senang dan tenang di dalam rumahnya; kini mesti sama-sama merasakan kesusahan dan penderitaan. Hidup di tenda-tenda, kalau datang malam terasa kedinginan. Seolah gempa mengingatkan kita, supaya hidup kita mesti menjalankan solidaritas sosial terhadap sesama manusia. Jika sebelumnya, kita seringkali lupa apakah tetangga sebelah sudah makan atau belum. Apakah tetangga kita kekurangan dan butuh pertolongan.
Setelah gempa dan hidup dalam tenda darurat, serta butuh pertolongan bantuan orang lain. Barulah banyak orang yang “tersadar” betapa hidup selama ini kurang atau tidak peduli pada sesama. Padahal harta benda, kekayaan, pangkat jabatan, yang selama ini dibangga-banggakan dalam kondisi darurat bencana seperti  ini kehilangan nilainya. Semangat saling tolong-menolong, semanagat kebersamaan, solidaritas sosial terbangun dengan adanya bencana. Seolah-olah gempa membawa hikmah bagi orang yang berpikir cerdik. Di balik musibah ada hikmah teramat indah. Gempa seolah-olah melatih kepekaan sosial antar sesama. Seolah-olah gempa mengingatkan kita bahwa di tengah-tengah perut lapar dan haus karena sedang puasa, kita dilatih untuk secara sadar merasakan penderitaan dan kesusahan orang lain (Fakir dan miskin).
Ramadan dan gempa bumi kali ini, seolah-olah memiliki titik temu dalam konsep Solidaritas Sosial.  Wallahu ‘alam bishawab.
Nasrun Minallahi Wafathun Qari`eb.

*) penulis mahasiswa  pascasarjana UIN SDG, sambil mengajar di STAI Muhammadiyah Bandung. Kini  aktip di Majelis pendidikan Kader PW Muhammadiyah Jabar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SILAHKAN ANDA BERKOMENTAR, NAMUN TETAP JAGA KESOPANAN DENGAN TIDAK MELAKUKAN KOMENTAR SPAM

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.