Kamis, 09 Februari 2012

Rayagung: Bulan Ziarah dan Tradisi Nikah


S. Rahmat Selamet*

            Akhir 2011 (Nopember) berbarengan dengan akhir 1432 Hijriyah (Zulhijjah). Meskipun tidak tepat tanggalnya seperti tiga bulan sebelumnya. Zulhijjah adalah bulan ke-12 dalam kalender Qomariyah (lunar system). Sedangkan Nopember adalah bulan ke-11dalam kalender Masehi (solar system).
            Bulan Zulhijjah secara istilah adalah bulan haji. Zul (pemilik) hijjah seakar kata dengan hujjaj (para peziarah haji). Karena bulan ini ke tanah suci (Makah Al-Mukaramah) berdatangan dan berkumpul para peziarah haji dari penjuru negeri. Setiap bulan inilah berdatangan rombongan tour para peziarah, laksana rombongan orang mudik di tanah Jawa di hari Raya Idul Fitri (Syawal). Seolah-olah para peziarah haji ini sedang melakukan acara mudik bareng ke kampung asalnya.
            Dan sepertinya tidak salah, jika dikatakan berziarah haji ke tanah Makah seolah-olah gambaran manusia sedang melakukan proses mudik (mulang ke udik, kembali ke kampung asalnya). Karena di Al-Jazirah inilah kampung asal nenek-moyang umat manusia yakni Adam dan Hawa. Sekaligus symbol bahwa ibadah haji adalah latihan jiwa “mudik” ke kampung (baca: akhirat) menghadap Tuhan. Di tanah padang Arafah ini Adam dan Hawa leluhur kita kembali bertemu selepas turun dari taman (Sorga). Arafah adalah tanah padang pertemuan, perkenalan kembali antara Adam dan Hawa. Mereka berdua saling berta’aruf, saling berbuat arif atas dasar ma’rifah kepada Tuhan Allah sang pencipta. Bagi para peziarah haji ada momen berkumpul pada Yaumul Arafah (Hari berta’aruf) di padang Arafah jelang Hari Raya Qurban. Untuk menangkap pesan moral bahwa seluruh umat manusia adalah sama kedudukannya dihadapan Tuhan. Inilah momen mengenal hakikat jatidirinya sekaligus mengenal Tuhannya. Man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu (Siapa mengenal dirinya maka akan mengenal siapa Tuhannya). Pesan moral demikian pernah diingatkan nabi saw di haji Wada:
            “Wahai manusia, ketahuilah bahwa Tuhanmu adalah satu. Dan bapakmu adalah satu. Ketahuilah bahwa bangsa Arab tidak mempunyai kelebihan atas bangsa lainnya, dab bangsa lainnya tidak punya kelebihan atas bangsa Arab. Demikian pula bangsa berkulit hitam tidak lebih tinggi derajatnya dari bangsa berkulit merah, bangsa berkulit merah tidak lebih tinggi derajatnya dari bangsa berkulit hitam, kecuali karena taqwa. “Benarkah yang saya sampaikan?” para sahabat menjawab,” Benar”. Kemudian beliau bersabda:” Hendaklah orang yang hadir menyampaikan kepada orang yang tidak hadir.”
Begitupun sebuah sukubangsa atau bangsa pasti memiliki sifat, karakter, jatidiri atau adat-istiadat, kebiasaan atau tradisi yang satu dengan yang lainnya bisa berbeda. Dalam istilah lainnya ayat ini ‘mengajarkan’ kita hidup untuk saling menghormati dan menghargai karena perbedaan tersebut, dan berupaya menemukan bahwa dibalik perbedaan itu sesungguhnya ada persamaan. Suku bangsa atau bangsa apapun adalah memiliki persamaan sebagai anak manusia, keturunan Adam dan Hawa.

Idul Qurban = Rayagung
            Ibadah qurban adalah salahsatu bagian dari proses ibadah berziarah haji. Namun uniknya, ibadah qurban ini bukan milik para peziarah haji saja. Karena umat Islam di belahan manapun jika mampu diwajibkan melakukan penyembelihan dan pembagian hewan qurban.
Idul Qurban adalah kembali kepada syariat Qurban yang diteladankan Ibrahim, bersama keluarganya Siti Hajar dan Ismail. Pengorbanan Ibrahim dalam mengendalikan nafsu diri adalah teladan bagi umat manusia. Bahwa kunci kesuksesan seseorang ditentukan oleh nilai keikhlasannya dalam menjalani ketaatan kepada Tuhan. Setelah itu Ibrahim dan Ismail membangun kembali (merenovasi) ka’bah.
Sembelihan Qurban adalah syariat yang harus ditebarkan sebagai sikap solidaritas sosial kepada kaum faqir dan miskin dengan pembagian daging qurban. Dalam konteks sosial, qurban adalah wujud solidaritas sosial. Tetapi yang sampai kepada Tuhan adalah bukan darah atau dagingnya, tetapi nilai ketaqwaannya (ketaatannya). Maka dalam konteks individual, qurban adalah wujud “penyembelihan” atas nafsu-nafsu kebinatangan yang ada dalam diri manusia. Nafsu hewaniyah seperti Kambing, Sapi, Kerbau, Unta, dll. Sehingga diharapkan dengan berqurban manusia bisa mengendalikan nafsu ego-nya menjadi nafsu tenang karena terpimpin (nafsu muthmainah).
Zulhijjah bisa disebut bulan ibadah “kolosal”—berombongan besar-besaran—diikuti dari setiap penjuru negeri. Sekaligus dirayakan oleh umat Islam di berbagai belahan negeri lainnya dengan syariat penyembelihan hewan qurban. Sehingga perayaan Idul Qurban tampaknya lebih semarak. Mungkin kondisi inilah yang membuat para pemuka agama Islam di tanah Jawa di masa lampau suka menyebut bulan Zulhijjah ini dengan bulan Rayagung. Rayagung diambil dari kata Hari Raya Agung.

Nikah bulan Rayagung
Tak ada ketentuan bulan khusus dalam kalender Islam untuk menikahkan puterinya. Semua waktu (bulan dan hari) adalah baik dalam pandangan Allah. Tetapi tradisi menikahkan puterinya di kalangan umat Islam di tanah Jawa sepertinya lebih menonjol dilakukan di bulan Zulhijjah alias bulan Rayagung. Konon bulan Rayagung (Zulhijjah) ini hitungan waktu yang baik. Tetapi ukuran baik dari sisi mana? Apakah ini terkait dengan perhitungan musim panen yang kebetulan berbarengan dengan bulan Rayagung pada masa itu? Sehingga momentum pernikahan dilakukan pada saat kebutuhan secara material melimpah untuk terpenuhi. Sebab pada masa itu di tanah Jawa mayoritas mata pencaharian mengandalkan pertanian dan melaut. Konon tradisi menikahkan puterinya di bulan Rayagung adalah kebiasaan para kyai di tanah Jawa pada masa lampau. Konon karena kebetulan di bulan Rayagung musim panen tiba, sehingga beras melimpah. Juga kebetulan di bulan Rayagung sedang ramainya qurban, sehingga daging-daging masih subur melimpah.  
Jika hitungan waktu yang baik terkait urusan ekonomi, boleh jadi di masa kini tradisi menikah di kalangan keluarga pegawai negeri berbeda dengan yang lainnya. Mereka bisa menikahkan puterinya bulan apa saja yang penting ada di minggu pertama alias bulan muda; karena mereka masih memiliki uang gaji.
Tetapi bila melacak tradisi nikah dari kartu undangan yang disebar. Kita bisa menemukan di kalangan masyarakat kita kebanyakan mencantumkan ungkapan nabi saw pada pernikahan puterinya Fatimah Az-Zahra dengan Ali bin Abi Thalib kwh,” Semoga Allah menghimpun yang berserak. Semoga Allah memberkahi kalian berdua dan menyatukan kalian dalam berkahnya”.
Sepertinya pernikahan puteri nabi saw ini menjadi model yang ditiru umat Islam. Dan kebetulan pernikahan Fatimah Az-Zahra dengan Ali kwh ini berlangsung pada bulan Zulhijjah. Ada yang menyebutnya tanggal 1 dan ada yang menyebutnya tanggal 6 Zulhijjah (Ibrahim Amini,1997:54). Boleh jadi pernikahan puteri nabi saw ini menjadi rujukan bagi kalangan umat Islam di tanah Jawa—khususnya. Sehingga kemudian menjadi tradisi yang kuat di kalangan rakyat bahwa menikahkan yang baik adalah di bulan Zulhijjah atau bulan Rayagung.
Namun ada yang berbeda. Pernikahan puteri nabi saw ini dilangsungkan  pada malam hari dengan jumlah mahar (mas kawin) yang kecil. Kenapa di malam hari? Pernikahan di malam hari adalah salahsatu tradisi Nabi, karena malam hari merupakan saat istirahat dan kedamaian dan seorang wanita adalah untuk kedamaian juga. (Husayn Ansarian, 1997 :155).
Dalam hal ini penulis berpandangan bahwa tradisi menikah di bulan Rayagung adalah kecerdasan local (local genius) yang dilakukan umat Islam di tanah Jawa khususnya. Sebagai bentuk penafsiran atas ajaran Islam (Sunnah nabi) dalam urusan pernikahan dengan melihat aspek potensi dan situasi  lokal.

*penulis pemerhati sosial budaya, pengajar di STAIM Bandung, Sekbid Dakwah PW Pemuda Muhammadiyah Jabar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SILAHKAN ANDA BERKOMENTAR, NAMUN TETAP JAGA KESOPANAN DENGAN TIDAK MELAKUKAN KOMENTAR SPAM

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.